MEKANISME NYERI AKUT
A. HUSNI TANRA
Bagian Anestesiologi dan Unit Pelayanan IntensifFakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
Makassar
PENDAHULUAN
Sensasi nyeri adalah hasil akhir dari suatu seri mekanisme yang kompleks dan
terintegrasi pada seluruh level sistem saraf mulai dari perifer lalu melewati medula
spinalis hingga ke struktur tertinggi yaitu otak. Nyeri merupakan sensasi yang tidak
menyenangkan dari pengalaman emosional yang dapat diinduksi oleh berbagai macam
kejadian yang dapat menimpa manusia. akibat kerusakan jaringan yang nyata atau
potensial rusak. Meski demikian, perkembangan ilmu pengetahuan kita mengenai
fisiologi nyeri pada tahun-tahun terkhir ini telah membawa kita pada terminologi lain
yang lebih relevan. (1)
Sherrington pada 1900, telah memperkenalkan istilah “nosisepsi” yakni bentuk
stimulasi yang dapat membangkitkan nosiseptor dan alur nyeri. Nosisepsi sebenarnya
merupakan alur nyeri yang dimulai dari transduksi, transmisi, modulasi, sampai persepsi
nyeri akibat adanya kerusakan jaringan atau yang berpotensi rusak.
Pada bentuk yang sederhana dari organisasi ini, nosisepsi dapat dikatakan sebagai
aktivitas elektrik, kimiawi, dan sinaptik pada neuro aferen sensorik. Pada level tertinggi
dapat digambarkan sebagai respon yang diorganisasikan pada level batang otak menuju
kardiovaskuler, hormonal, dan respon lain terhadap nyeri. Menurut Sherrington, nyeri
adalah refleks nosiseptif dengan komponen fisik. Nosiseptor adalah neuron spesifik
perifer yang responnya selektif terhadap stimulus noksius, sehingga memiliki
kemampuan untuk membedakan antara input sensorik nyeri dan bukan nyeri. (1)
ANATOMI
Saraf-saraf aferen sensorik memiliki badan sel unipolar yang berlokasi pada akar
ganglion dorsalis dan diklasifikasikan menurut ukuran serabutnya menjadi tiga grup
utama (A, B, C ). Grup A lebih jauh disubklasifikasikan menjadi empat subgrup ( Aα, Aβ,
Aγ, Aδ ) (tabel 1). Aferen sensoris yang berespon terhadap stimulus noksius meliputi
serabut bermielin berkaliber kecil ( Aδ ) atau serabut halus tidak bermielin ( C ) yang
berasal dari epidermis dan reseptif internal, termasuk periosteum, sendi, otot, dan visera.
Kebanyakan serabut Aδ dan C merupakan ujung-ujung saraf bebas. Walaupun keduanya
peka terhadap rangsang noksius, namun keduanya memiliki perbedaan, baik reseptor
maupun neurotransmiter yang dilepaskan pada presinaps di kornu posterior. Reseptor
nosiseptor Aδ memiliki kecepatan konduksi yang sangat cepat dan hanya peka terhadap
stimulus mekanik dan termal, sehingga disebut mechanothermal nociceptors . Nosiseptor
Aδ mentransmisikan “nyeri awal” yang ditandai dengan sensasi deskriminatif yang dapat
dilokalisir dan berlangsung hanya pada saat stimulus diberikan. Sedangkan serabut C
dengan kecepatan konduksi lambat peka terhadap stimulus noxious, yang meliputi
mekanik, termal, dan kimiawi. Oleh karena itu serabut C disebut juga sebagai polymodal
nociceptors. Nosiseptor ini memediasi sensasi “ nyeri kedua “, yang digambarkan sebagai
sensasi difus, menetap, dan membakar yang lambat dirasakan dan berlangsung setelah
stimulus diakhiri. (2)
Serabut Aδ memasuki kornu dorsalis melalui akar dorsalis dan traktus Lissauer’s ,
berakhir predominan pada lamina I Rexed’s ( zona marginal ), II ( substansia gelatinosa ),
V ( nukleus proprius ), dan X ( kanalis sentralis ). Sama halnya, serabut C memasuki
kornu dorsalis bersinaps dengan second-order neurons, di lamina I,II, dan V. Tidak
seperti serabut Aδ, lebih dari 30% serabut C memasuki kornu dorsalis melalui akar
Saraf-saraf aferen primer menghasilkan satu atau lebih asam amino eksitasi
( EAAs ) seperti glutamat dan aspartat, atau neurotransmiter peptida, yang meliputi
substansi P, neurokinin, calcitonin gene-related peptide ( CGRP ), cholecystokinin
( CCK ), somatostatin, dan bombesin. EAAs memediasi depolarisasi cepat durasi pendek
dari second-order neurons. Sebaliknya, neurotransmiter peptida menghasilkan
depolarisasi tertunda dan berlangsung lama. Neurotransmiter yang dilepaskan oleh Aδ di
presinaps adalah glutamat, sedangkan serabut C selain melepaskan asam glutamat juga
substansi P (neurokinin) yang merupakan polipeptida. (4,5)
Kornu Posterior
Kornu dorsalis adalah sebuah pusat organisasi yang lebih tinggi dari suatu
konvergensi saraf dan berbagai proses yang melibatkan transmisi noksius dan modulasi.
Termasuk di dalamnya ujung-ujung terminal serabut saraf aferen primer ( first-order
neurons ) dan sel-sel penerima dimana axon-axon ini bersinaps ( second-order neuron ).
Second-order neuron berperan dalam mengintegrasikan input aferen, mempengaruhi
fasilitasi dan inhibisi dari interneuron dan proyeksi saraf desending. Kemampuan yang
secara simultan memproses stimulus noksius dan non-noksius ini mendukung teori gate
control dari modulasi nyeri yang digambarkan oleh Melzack dan Wall. (2,4)
Second-order neuron yang ditemukan pada kornu dorsalis memiliki dua tipe,
yaitu nociceptive-specific neurons ( NS ) ( yang berespon ekslusif terhadap impuls
nosiseptif dari Aδ dan serabut C ) dan wide dynamic range neurons ( WDR ) ( yang
berespon terhadap kedua stimulus noksius dan non-noksius ). Pada level dermatom
neuron WDR menerima input aferen dari kulit, otot, sendi, nosiseptor veseral, yang
menyebabkan fenomena konvergensi organ dan nyeri alih. Stimulasi frekuensi rendah
dari serabut C menyebabkan meningkatnya perangsangan neuron WDR secara gradual
sampai mencapai titik yang mendekati perangsangan kontinus, yang disebut fasilitasi
sentral atau“wind-up”, yang memperbesar transmisi aferen (Gbr.1) . Penelitian saat ini
menyatakan bahwa reseptor N-methyl-D-aspartic acid ( NMDA ) bertanggung jawab
dalam “wind-up”(20). Tidak seperti reseptor α-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazole
propionic acid (AMPA ), yang diaktivasi oleh EAAs dan menghasilkan depolarisasi
cepat, aktivasi reseptor NMDA lebih komplit, memerlukan adanya glutamat endogen
agonis, glisin, dan perpindahan Mg2+-dependent channel block. Gabungan antara
glutamat dan peptida algesik ( neurokinin atau takikinin ), termasuk substansi P, dan
neurokinin A mampu menggeser blokade Mg2+-dependent, menghasilkan suatu
depolarisasi lambat dan lama dari second-order neuron. (2,6)
Akson-akson dari NS dan WDR dapat pula bersinaps melalui internuncial
neurons dengan sel-sel kornu ipsilateral anterolateral ( preganglionik saraf simpatis )
atau neuron somatomotor, atau menyebar langsung ke batang otak, otak tengah, dan
thalamus melalui traktus spinothalamik dan spinoretikular.
Gambar 1
Jalur asending
Beberapa traktus spinal asending terlibat dalam transmisi nosiseptif dari kornu
dorsalis ke target-target supraspinal, yang meliputi traktus spinotalamikus, spinoretikular,
spinomesensefalik, sistem post sinaptik spinomedulari kornu dorsalis, dan sistem
multisinaptik propriospinal asending. Dari semua sistem ini, traktus spinotalamikus
merupakan jalur terpenting dari transmisi impuls nosiseptif. Second-order neuron pada
lamina I dan V menyebar langsung ke talamus lateral dan medial. Traktus spinotalamikus
dibagi menjadi dua yaitu : traktus neospinotalamikus dan paleospinotalamikus. Traktus
neospinotalamikus terdiri atas second-order neuron kornu dorsalis yang diproyeksikan ke
talamus lateral (neotalamus), yang membawa impuls nosiseptif langsung ke korteks
somatosensoris. Traktus ini berperan dalam melokalisir dan mendiskriminasikan
informasi nosiseptif, dan responnya berupa penarikan diri dari stimulus noksius.
Sebaliknya, traktus paleospinotalamus menuju ke sistem aktivasi retikular,
periaquaduktal, hipotalamus,dan paleotalamus (talamus medial). Paleotalamus tidak
mengatur somatotopikal, dan sel-selnya diproyeksikan ke korteks frontal dan limbik.
Impuls nosiseptif yang diproyeksikannya menyebabkan respon sirkulasi, respirasi,
endokrin, dan respon emosi. (2)
Kontrol Nyeri Desending
Aktivitas nosiseptif di medula spinalis dan jalur asending dimodulasi oleh
beberapa pusat yang lebih tinggi, yaitu koteks serebri, hipotalamus, talamus, dan batang
otak ( periaquaduktal, nuklei raphe,locus coeruleus/subcoeruleus ). Batang otak/midbrain
nuclei, yang menyediakan kontrol nyeri desending, juga berperan sebagai penerus sinaps
ke korteks, hipotalamus dan talamus. Akson-akson eferen dari periaquaduktal
diproyeksikan ke formasio retikularis medula kemudian bersinaps di kornu dorsalis untuk
menghambat second-order neuron NS dan WDR . Terdapat beberepa neurotransmiter
penting pada periaquaduktal yang memodulasi aktivitas nosiseptif, yaitu opioid endogen
(enkefalin, endorfin, dinorfin), γ-aminobutiric acid (GABA), dan norepineprin. Dalam
kornu dorsalis medula spinalis, opioid endogen, baik yang berasal dari neuron desending
atau dari interneuron lokal, mempengaruhi aktivitas dari first dan second-order neuron.
Opioid menghambat pelepasan kalium substansi P dan glutamat dari neuron aferen
primer (21), dan efeknya dihilangkan oleh nalokson. Oleh karena 70% reseptor opioid (μ)
terdapat pada ujung terminal neuron aferen, maka efek utamanya adalah menghambat
pelepasan neurotransmitter algesik presinaptik. Sedangkan efeknya pada post sinaptik
adalah menekan sel-sel second-order WDR dan NS. (2,4)
PATOFISIOLOGI
Nyeri pascabedah merupakan prototype nyeri akut. Penanganan nyeri pascabedah
yang tidak adekuat akan berakibat buruk pada hasil pembedahan (tabel 2). Setelah insisi
dan diseksi luas atau manipulasi viseral, berbagai respon sering menimbulkan perubahan
patofisiologi yang dapat berakibat buruk setelah operasi, khususnya pada pasien-pasien
dengan resiko tinggi. Perubahan-perubahan ini meliputi :
· Perubahan neurohumoral dalam mempersepsi nyeri pada tempat atau daerah luka,
yang disebut sensitisasi perifer.
· Perubahan fungsi sinaps dan proses nosisepsi dalam kornu dorsalis medula
spinalis.
· Respon neuroendokrin yang memediasi hiperglikemia dan keseimbangan nitrogen
negatif.
· Aktivasi simpatoadrenal, mengakibatkan peningkatan denyut jantung dan
tekanan darah dan penurunan aliran darah regional. (2)
Sensitisasi perifer
Kerusakan jaringan akibat suatu pembedahan selain akan menyebabkan
terlepasnya zat-zat dalam sel juga akan menginduksi terlepasnya mediator inflamasi dari
sel mast, makrofag dan limfosit. Lebih dari itu terjadi impuls balik dari saraf aferen yang
melepaskan mediator kimia yang berakibat terjadinya vasodilatasi serta peningkatan
permeabilitas kapiler sehingga terjadi ekstravasasi protein plasma. (7)
Kerusakan sel akan disertai dengan pelepasan kalium dan ion hidrogen
intraseluler dan segera terbentuk bradikinin dan 5-hydroxytryptamine (serotonin 5-HT).
Bradikinin merupakan peptida algesik poten dan aktivator fosfolipase A2-siklooksigenase,
yang menyintesis sejumlah eikosanoid, seperti prostaglandin,prostasiklin,
dan leukotrin. Bradikinin memfasilitasi nosiseptor mekanotermal serabut C dan
menyebabkan nyeri, sedangkan 5-HT, selain dapat menimbulkan nyeri, lebih
bertanggungjawab pada terjadinya edema jaringan dan peningkatan aliran darah
Prostaglandin berperan dalam memulai dan memfasilitasi impuls antidromik yang
berjalan sepanjang neuron aferen yang tersensitasi, dan memediasi pelepasan substansi P
pada terminal saraf perifer. Mediator kimia inilah yang menyebabkan sensitisasi dari
kedua nosiseptor tersebut di atas. Peristiwa ini disebut sebagai sensitisasi perifer. Akibat
perubahan sensitisasi ini maka dalam klinik, nyeri ditandai dengan gejala hiperalgesia
artinya suatu stimulus noksius yang normal menyebabkan nyeri kini dirasakan sangat
nyeri, dan allodinia, artinya suatu stimulus lemah yang normal tidak menyebabkan nyeri
kini terasa nyeri menetap walaupun stimulus sudah dihentikan. Hiperalgesia sendiri
dibagi menjadi dua kelas yaitu primer dan sekunder. Hiperalgesia primer terjadi dalam
beberapa menit setelah trauma dan ditandai dengan peningkatan sensitivitas terhadap
sentuhan, panas, dan stimulus mekanik. Berkembangnya hiperalgesia primer
berhubungan dengan penurunan ambang nyeri dan peningkatan sensitivitas nosiseptor
mekanotermal C dan Aδ. Sedangkan hiperalgesia sekunder onsetnya lambat dan
mempunyai karakter berbeda, yang mana sensitivitasnya meningkat terhadap stimulus
termal. (2,7)
Senstisitas perifer diinduksi oleh adanya perubahan neurohumoral pada daerah
jaringan yang rusak maupun sekitarnya. Jika kita ingin menekan sensitisasi perifer ini,
maka dibutuhkan upaya menekan efek mediator kimia tersebut. Upaya demikian
merupakan dasar penggunaan obat-obat anti inflamasi non-steroid ( AINS ) yang
merupakan anti enzim siklooksigenasi. (2,7,8)
AINS menghambat siklooksigenasi pada medula spinalis dan perifer, dan dengan
demikian menurunkan sintesis prostanoid dan menghilangkan hiperalgesia pada daerah
luka. Bukti yang ada membenarkan penggunaan AINS atau asetaminofen dalam
mengatasi nyeri ringan sampai sedang. Mual dan muntah setelah operasi dan kesulitan
intake oral membutuhkan pemberian AINS secara rektal atau topikal. Penggunaan secara
intravena terbatas dibandingkan ketorolak dan propacetamol, Rekomendasi penggunaan
ketorolak menurun di negara Eropa dan USA sejak terdapatnya peningkatan jumlah kasus
gagal ginjal dan insufisiensi gastrointestinal. Penelitian mendalam mengenai kedua
bentuk siklooksigenase, COX-1 dan COX-2, memberikan harapan. Hambatan pada
COX-1 mempengaruhi fungsi ginjal, integritas mukoasa lambung,dan adhesi trombosit.
COX-2 dikeluarkan setelah terjadi perlukaan jaringan dan juga berperan dalam
menigkatkan inflamasi. Uji klinis telah membuktikan efektifitas dan keamanan
penghambat COX-2 selektif. Data lain menyebutkan bahwa AINS tidak hanya berperan
pada COX-1 dan COX-2 namun jaga menghambat transmisi nuklear faktor кB yang
sangat penting dalam pelepasan gen cytokine selama inflamasi. Penghambatan кB, yang
berhubungan dengan faktor-faktor transkripsi, atau cytokine itu sendiri, berpotensi dalam
penanganan nyeri inflamasi akut dan kronik. (8)
Mekanisme sentral; hiperalgesia sekunder
Asal dan perkembangan suatu hiperalgesia sekunder sangat kompleks, meliputi
sensitisasi perifer, respon refleks multisegmental, dan perubahan proses nyeri pada sistem
saraf pusat. Impuls antidromik di dalam ujung-ujung saraf yang tersensitisasi menyokong
suatu respon inflamasi neurogenik pada daerah luka; namun demikian, aktivitas ini tidak
semata-mata bertanggungjawab dalam perubahan persepsi dan tingkah laku yang
menyertai hiperalgesi sekunder. Hardy dkk pertama kali mengusulkan bahwa informasi
nosiseptif ditransmisikan dari daerah luka ke second-order neuron spinotalamus di kornu
dorsalis. Second-order neuron-lah yang memeinkan peran modulasi yang dapat
memfasilitasi atau menghambat suatu stimulus noksius. Stimulus noksius yang
berkepanjangan pada serabut C dari seranut aferen primer akan menyebabkan perubahan
morfologi dan biokimia pada kornu dorsalis yang sulit dipulihkan. Perubahan ini disebut
sensitisasi sentral atau “wind up”. Hal ini menjadi dasar terjadinya nyeri kronik yang sulit
disembuhkan. (2,7,9)
Perubahan-perubahan lain yang terjadi pada kornu dorsalis sehubungan dengan
sensitisitas sentral adalah : pertama, terjadi perluasan reseptor field size sehingga neuron
spinalis akan berespon terhadap stimulus nosiseptif. Kedua, terjadi peningkatan besaran
dan durasi respon terhadap stimulus yang lebih dari ambang potensial. Terakhir, terjadi
pengurangan ambang batas stimulus yang secara normal tidak bersifat nosiseptif akan
mentransmisikan informasi nosiseptif. Perubahan ini bermanifestasi sebagai hiperalgesia
sekunder, allodinia, refleks-refleks fleksi multisegmental (splinting dan spasme otot), dan
perubahan-perubahan tonus simpatis dan perfusi regional. (9)
Aktivasi reseptor NMDA merupakan tahap penting dalam menginduksi dan
memaintenanse sensitisitas sentral. Aktivasi reseptor ini dapat mempengaruhi plastisitas
menigkatkan inflamasi. Uji klinis telah membuktikan efektifitas dan keamanan
penghambat COX-2 selektif. Data lain menyebutkan bahwa AINS tidak hanya berperan
pada COX-1 dan COX-2 namun jaga menghambat transmisi nuklear faktor кB yang
sangat penting dalam pelepasan gen cytokine selama inflamasi. Penghambatan кB, yang
berhubungan dengan faktor-faktor transkripsi, atau cytokine itu sendiri, berpotensi dalam
penanganan nyeri inflamasi akut dan kronik. (8)
Mekanisme sentral; hiperalgesia sekunder
Asal dan perkembangan suatu hiperalgesia sekunder sangat kompleks, meliputi
sensitisasi perifer, respon refleks multisegmental, dan perubahan proses nyeri pada sistem
saraf pusat. Impuls antidromik di dalam ujung-ujung saraf yang tersensitisasi menyokong
suatu respon inflamasi neurogenik pada daerah luka; namun demikian, aktivitas ini tidak
semata-mata bertanggungjawab dalam perubahan persepsi dan tingkah laku yang
menyertai hiperalgesi sekunder. Hardy dkk pertama kali mengusulkan bahwa informasi
nosiseptif ditransmisikan dari daerah luka ke second-order neuron spinotalamus di kornu
dorsalis. Second-order neuron-lah yang memeinkan peran modulasi yang dapat
memfasilitasi atau menghambat suatu stimulus noksius. Stimulus noksius yang
berkepanjangan pada serabut C dari seranut aferen primer akan menyebabkan perubahan
morfologi dan biokimia pada kornu dorsalis yang sulit dipulihkan. Perubahan ini disebut
sensitisasi sentral atau “wind up”. Hal ini menjadi dasar terjadinya nyeri kronik yang sulit
disembuhkan. (2,7,9)
Perubahan-perubahan lain yang terjadi pada kornu dorsalis sehubungan dengan
sensitisitas sentral adalah : pertama, terjadi perluasan reseptor field size sehingga neuron
spinalis akan berespon terhadap stimulus nosiseptif. Kedua, terjadi peningkatan besaran
dan durasi respon terhadap stimulus yang lebih dari ambang potensial. Terakhir, terjadi
pengurangan ambang batas stimulus yang secara normal tidak bersifat nosiseptif akan
mentransmisikan informasi nosiseptif. Perubahan ini bermanifestasi sebagai hiperalgesia
sekunder, allodinia, refleks-refleks fleksi multisegmental (splinting dan spasme otot), dan
perubahan-perubahan tonus simpatis dan perfusi regional. (9)
Aktivasi reseptor NMDA merupakan tahap penting dalam menginduksi dan
memaintenanse sensitisitas sentral. Aktivasi reseptor ini dapat mempengaruhi plastisitas
saraf spinal. Perubahan sruktur dan fungsi ini dimediasi oleh perubahan fluks kalsium
intraneural, pembentukan nukleotida dan kinase second mesenger, induksi gen, produksi
protein c-fos, aktivasi nitric oxide synthase, dan pelepasan nitrit oksida. Oleh karenanya
neuroplastisitas yang diinduksi oleh trauma menyebabkan suatu potensiasi jangka
panjang dari aktivitas sinaptik. Potensiasi jangka panjang ini mengakibatkan persepsi
nyeri yang terus menerus dan lama, bahkan setelah luka telah sembuh. Timbullah
hiperalgesia persisten dan nyeri kronik. (2,9)
Dengan demikian antagonis NMDA tentunya dapat menekan respon ini. Ketamin,
penyekat reseptor NMDA, dengan jelas dapat mengurangi kebutuhan opioid bila
diberikan sebelum operasi. Dekstrometorfan, obat penekan batuk, dapat menjadi
alternatif lain karena penelitian menunjukkan bahwa dekstrometorfan juga merupakan
penyekat NMDA. (7,10,11)
Dewasa ini perhatian selanjutnya juga tertuju pada NO dan peranannya dalam
proses biologik. Sejumlah bukti telah menunjukkan peranan NO pada proses nosiseptif.
Produksi NO terjadi secara sekunder dari aktivasi reseptor NMDA dan influks Ca. Ca
intraseluler akan bergabung dengan calmodulin menjadi Ca-calmodulin yang selanjutnya
akan mengaktivasi enzim NOS (Nitric Oxide Syntase) yang dapat mengubah arginin
menghasilkan sitrulin dan NO (Nitric Oxyde) dengan bantuan NADPH sebagai co-factor.
Dalam keadaan normal, NO dibutuhkan untuk mempertahankan fungsi normal sel.
Namun, dalam jumlah yang berlebihan, NO dapat bersifat neurotoksik yang akan
merusak sel saraf itu sendiri. Perubahan yang digambarkan di atas, terjadi seiring dengan
aktivasi reseptor NMDA yang berkelanjutan. Dengan demikian, obat-obat yang dapat
menghambat produksi dari NO akan mempunyai peranan yang penting dalam
pencegahan dan penanganan nyeri. (7,10,11)
intraneural, pembentukan nukleotida dan kinase second mesenger, induksi gen, produksi
protein c-fos, aktivasi nitric oxide synthase, dan pelepasan nitrit oksida. Oleh karenanya
neuroplastisitas yang diinduksi oleh trauma menyebabkan suatu potensiasi jangka
panjang dari aktivitas sinaptik. Potensiasi jangka panjang ini mengakibatkan persepsi
nyeri yang terus menerus dan lama, bahkan setelah luka telah sembuh. Timbullah
hiperalgesia persisten dan nyeri kronik. (2,9)
Dengan demikian antagonis NMDA tentunya dapat menekan respon ini. Ketamin,
penyekat reseptor NMDA, dengan jelas dapat mengurangi kebutuhan opioid bila
diberikan sebelum operasi. Dekstrometorfan, obat penekan batuk, dapat menjadi
alternatif lain karena penelitian menunjukkan bahwa dekstrometorfan juga merupakan
penyekat NMDA. (7,10,11)
Dewasa ini perhatian selanjutnya juga tertuju pada NO dan peranannya dalam
proses biologik. Sejumlah bukti telah menunjukkan peranan NO pada proses nosiseptif.
Produksi NO terjadi secara sekunder dari aktivasi reseptor NMDA dan influks Ca. Ca
intraseluler akan bergabung dengan calmodulin menjadi Ca-calmodulin yang selanjutnya
akan mengaktivasi enzim NOS (Nitric Oxide Syntase) yang dapat mengubah arginin
menghasilkan sitrulin dan NO (Nitric Oxyde) dengan bantuan NADPH sebagai co-factor.
Dalam keadaan normal, NO dibutuhkan untuk mempertahankan fungsi normal sel.
Namun, dalam jumlah yang berlebihan, NO dapat bersifat neurotoksik yang akan
merusak sel saraf itu sendiri. Perubahan yang digambarkan di atas, terjadi seiring dengan
aktivasi reseptor NMDA yang berkelanjutan. Dengan demikian, obat-obat yang dapat
menghambat produksi dari NO akan mempunyai peranan yang penting dalam
pencegahan dan penanganan nyeri. (7,10,11)
Kepustakaan
1. Sarantopoulos, C. Pain Pathways and Mechanism. In Stephen E.Abram (ed.).
Pain Madicine the Requisites in Anesthesiology. Mosbay Elsevier,Inc.,2006 : 1-17
2. Sinatra, R.S.,The Anatomy and Pathophysiology of Pain. In Problems in
Anesthesia: Management of Acute Pain, Vol 10, No.1, Lippincott-Raven
Publisher, Philadelphia, 1998: 8-22.
3. Filds HL, Basbaum AI, Endogenous pain control mechanism. In : Wall PD,
Melzack R,eds. Textbook of Pain. NY: Churchill Livingstone, 1989:206-17.
4. Yaksh TL,Malmberg AB. Central pharmacology of nociceptive transmission. In:
Melzack R, Wall P,eds. Textbook of Pain. NY: Churchill Livingstone, 1994 :165-
200
5. Thompson SW, Woolf CJ. Primary afferent-evoked prolonged potentials in spinal
cord and their central summation: role of NMDA reseptor. In : Bond MR,
Charlton JE, Woolf CJ,eds. Proceedings of 6th World Congress on Pain.
Amsterdam: Elseiver: 1991.
6. Dickenson AH. Spinal cord pharmacology of pain. Br J Anaesth 1995; 75:193-
200.
7. Tanra A.Husni. Nyeri pascabedah dan penglolaannya. In: Majalah Anestesia &
Critical Care,Vol.23 No.2, IDSAI. 2005: 152-8
8. Carr DB, Goudas LC. Acute pain. In: Pain. Departement of Anesthesia and
Medicine, Tufts University School of Medicine, New England Medical Center,
Boston USA, Lancet, 1999: 2051-58
9. Woolf CJ, Chong MS. Preemtive analgesia: treating postoperative pain by
preventing the establishment of central sensitization. Anesth Analg 1993; 362-79
10. Rabah DM, Fabrizio MD. Posoperative pain : current management consepts.Cited
at
http://www/centuro.com/be_core/content/journals/u/data/2003/0801/postpain.html
11. Song SO, Carr DB. Pain and memory. In: Pain Clinical Updates, Vol VII (1).
IASP. 1999.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar