Sabtu, 26 Februari 2011

PENERIMAAN PETUGAS KESEHATAN HAJI INDONESIA TAHUN 2011

PENERIMAAN PETUGAS KESEHATAN HAJI INDONESIA TAHUN 2011

Kementerian Kesehatan membuka pendaftaran untuk Petugas Kesehatan Haji Indonesia (PKHI) Tahun 2011 M/1432 H. Pendaftaran dilakukan secara online pada tanggal 15 Februari 2011 jam 05.00 melalui website http://www.puskeshaji.depkes.go.id/. PKHI yang dibutuhkan sebanyak 1.782 orang masing-masing untuk Tim Kesehatan Haji Indonesia (TKHI) kloter dan Panitia Penyelenggaraan Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi bidang kesehatan. TKHI kloter adalah petugas kesehatan yang menyertai jemaah haji dalam kelompok terbang (Kloter). Jumlah yang dibutuhkan sebanyak 1.476 orang terdiri dari 492 dokter dan 984 perawat. Sementara PPIH Arab Saudi bidang kesehatan yang dibutuhkan sebanyak 306 orang, terdiri dokter spesialis, dokter umum, dokter gigi, perawat, analis kesehatan, radiographer, ahli rekam medik, teknisi elektromedik, nutrisionis dan dietisian, tenaga farmasi, sanitasi dan surveilans serta petugas sistem komputerisasi haji terpadu (Siskohat).

Persyaratan melamar meliputi umum dan khusus. Persyaratan umum meliputi Warga Negara Indonesia yang beragama Islam (PNS, TNI, POLRI, PTT maupun Pegawai Swasta), berbadan sehat, baik fisik maupun mental, berusia maksimal 55 tahun, mempunyai pendidikan atau keahlian sesuai dengan bidang tugasnya yang dinyatakan dengan ijazah yang dimiliki calon petugas kesehatan haji. Bagi petugas kesehatan wanita tidak dalam keadaan hamil. Mempunyai keahlian kedaruratan dan prestasi kerja serta disiplin yang baik, dibuktikan dengan surat keterangan dari atasan langsung. Suami-isteri tidak boleh mengajukan lamaran sebagai petugas kesehatan haji pada musim haji yang sama. Bersedia bekerja sesuai dengan tempat tugas dan jadwal yang sewaktu-waktu dapat berubah sesuai kebutuhan.

Persyaratan khusus, untuk TKHI Kloter yaitu untuk dokter mempunyai sertifikat ATLS, ATCLS, ACLS, GELS, memiliki surat ijin praktek (SIP), melakukan praktik kedokteran dengan rekomendasi Dinas Kesehatan setempat. Sedangkan untuk perawat/perawat bidan memiliki sertifikat BTLS, BTCLS, BCLS, Emergency Nursing atau PPGD, memiliki surat ijin perawat (SIP) dan surat ijin kerja perawat (SIKP) atau SIB, melakukan praktik keperawatan dengan rekomendasi Dinas Kesehatan setempat.

Persyaratan khusus untuk PPIH yaitu dokter gigi, dokter umum dan dokter spesialis (penyakit dalam, jantung pembuluh darah, paru, jiwa, syraf dan bedah). Untuk perawat yaitu pendidikan minimal D3, diutamakan perawat di IGD, ICCU dan ICU, IW, perawat geriatri dan bedah. Untuk Analis kesehatan minimal pendidikan D3, analis kesehatan bekerja di instalasi laboratorium. Radiografer, pendidikan minimal D3 penata rontgen atau radiodiagnostik dan radio terapi bekerja di instalasi radiologi rumah sakit. Ahli rekam medik, pendidikan minimal D3 rekam medik bekerja di unit rekam medik rumah sakit, mahir menggunakan komputer MS Word dan MS Excell. Teknisi elektromedik, pendidikan minimal D3 Teknik Elektromedik, bekerja di unit pelayanan elektromedik dan pengalaman kerja minimal 5 tahun. Nutrisionis dan Dietisian, pendidikan minimal D3 Gizi, bekerja sebagai ahli dietetik di rumah sakit. Tenaga farmasi, pendidikan minimal D3 farmasi diutamakan bekerja di instalasi farmasi dan/atau apotek, mahir mengoperasikan program MS Word dan Excell dan internet. Sanitasi dan surveilans, pendidikan minimal D3 kesehatan masyarakat, diutamakan bekerja di bidang sanitasi dan/atau epidemiologi, mahir mengoperasikan MS Word, Excell dan internet. Petugas Siskohat, pendidikan minimal D3, mahir mengoperasikan program MS Word, MS Excell dan menguasai operasional internet/wifi dan jaringan.

Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi melalui nomor telepon: 021-52907416-9, faks: 52921669, Call Center: 021-500567, 30413700, atau alamat e-mail puskom.publik@yahoo.co.id
Sumber: http://www.puskeshaji.depkes.go.id/

Kamis, 24 Februari 2011

Konsep Dasar Hemodialisa

 
i
 
2 Votes
Quantcast
KONSEP DASAR HEMODIALISA

A. Pengertian
Dialisis merupakan suatu proses yang digunakan untuk mengeluarkan cairan dan produk limbah dari dalam tubuh ketika ginjal tidak mampu melaksanakan fungsi tersebut.
Pada dialisis, molekul solut berdifusi lewat membran semipermeabel dengan cara mengalir dari sisi cairan yang lebih pekat (konsentrasi solut lebih tinggi) ke cairan yang lebih encer (konsentrasi solut lebih rendah). Cairan mengalir lewat membran semipermeabel dengan cara osmosis atau ultrafiltrasi (aplikasi tekakan eksternal pada membran).
Membran semipermeabel adalah lembar tipis, berpori-pori terbuat dari selulosa atau bahan sintetik. Ukuran pori-pori membran memungkinkan difusi zat dengan berat molekul rendah seperti urea, kreatinin, dan asam urat berdifusi. Molekul air juga sangat kecil dan bergerak bebas melalui membran, tetapi kebanyakan protein plasma, bakteri, dan sel-sel darah terlalu besar untuk melewati pori-pori membran. Perbedaan konsentrasi zat pada dua kompartemen disebut gradien konsentrasi.
Hemodialisa merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien dalam keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialisis jangka pendek (beberapa hari hingga beberapa minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal stadium terminal yang membutuhkan terapi jangka panjang atau terapi permanen.
Sehelai membran sintetik yang semipermeabel menggantikan glomerolus serta tubulus renal dan bekerja sebagai filter bagi ginjal yang terganggu fungsinya.
Sistem ginjal buatan:
1.      Membuang produk metabolisme protein seperti urea, kreatinin, dan asam urat.
2.      Membuang kelebihan air dengan mempengaruhi tekanan banding antara darah dan bagian cairan, biasanya terdiri atas tekanan positif dalam arus darah dan tekanan negatif (penghisap) dalam kompartemen dialisat (proses ultrafiltrasi).
3.      Mempertahankan dan mengembalikan system buffer tubuh.
4.      Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh.

Tujuan hemodialisa adalah untuk mengambil zat-zat nitrogen yang toksik dari dalam darah dan mengeluarkan air yang berlebih. Pada hemodilisa, aliran darah yang penuh dengan toksin dan limbah nitrogen dialihkan dari tubuh pasien ke dialiter tempat darah tersebut dibersihkan dan kemudian dikembalikan lagi ke tubuh pasien.







B. Indikasi
  1. Penyakit dalam (Medikal)
-          ARF- pre renal/renal/post renal, apabila pengobatan konvensional gagal mempertahankan RFT normal.
-          CRF, ketika pengobatan konvensional tidak cukup
-          Snake bite
-          Keracunan
-          Malaria falciparum fulminant
-          Leptospirosis
  1. Ginekologi
-          APH
-          PPH
-          Septic abortion
  1. Indikator biokimiawi yang memerlukan tindakan hemodialisa
-          Peningkatan BUN > 20-30 mg%/hari
-          Serum kreatinin > 2 mg%/hari
-          Hiperkalemia
-          Overload cairan yang parah
-          Odem pulmo akut yang tidak berespon dengan terapi medis

Pada CRF:
  1. BUN > 200 mg%
  2. Creatinin > 8 mg%
  3. Hiperkalemia
  4. Asidosis metabolik yang parah
  5. Uremic encepalopati
  6. Overload cairan
  7. Hb: < 8 gr% – 9 gr% siap-siap tranfusi

C.    PERALATAN

1.      Dialiser atau Ginjal Buatan
Komponen ini terdiri dari membran dialiser yang memisahkan kompartemen darah dan dialisat. Dialiser bervariasi dalam ukuran, struktur fisik dan tipe membran yang digunakan untuk membentuk kompartemen darah. Semua factor ini menentukan potensi efisiensi dialiser, yang mengacu pada kemampuannya untuk membuang air (ultrafiltrasi) dan produk-produk sisa (klirens).
2.      Dialisat atau Cairan dialysis
Dialisat atau “bath” adalah cairan yang terdiri atas air dan elektrolit utama dari serum normal. Dialisat ini dibuat dalam system bersih dengan air keran dan bahan kimia disaring. Bukan merupakan system yang steril, karena bakteri terlalu besar untuk melewati membran dan potensial terjadinya infeksi pada pasien minimal. Karena bakteri dari produk sampingan dapat menyebabkan reaksi pirogenik, khususnya pada membran permeable yang besar, air untuk dialisat harus aman secara bakteriologis. Konsentrat dialisat biasanya disediakan oleh pabrik komersial. Bath standar umumnya digunakan pada unit kronis, namun dapat dibuat variasinya untuk memenuhi kebutuhan pasien tertentu.
3.      Sistem Pemberian Dialisat
Unit pemberian tunggal memberikan dialisat untuk satu pasien: system pemberian multiple dapat memasok sedikitnya untuk 20 unit pasien. Pada kedua system, suatu alat pembagian proporsi otomatis dan alat pengukur serta pemantau menjamin dengan tepat kontrol rasio konsentrat-air.
4.      Asesori Peralatan
Piranti keras yang digunakan pada kebanyakan system dialysis meliputi pompa darah, pompa infus untuk pemberian heparin, alat monitor untuk pendeteksi suhu tubuh bila terjadi ketidakamanan, konsentrasi dialisat, perubahan tekanan, udaara, dan kebocoran darah.
5.      Komponen manusia
6.      Pengkajian dan penatalaksanaan

D.    PROSEDUR HEMODIALISA

Setelah pengkajian pradialisis, mengembangkan tujuan dan memeriksa keamanan peralatan, perawat sudah siap untuk memulai hemodialisis. Akses ke system sirkulasi dicapai melalui salah satu dari beberapa pilihan: fistula atau tandur arteriovenosa (AV) atau kateter hemodialisis dua lumen. Dua jarum berlubang besar (diameter 15 atau 16) dibutuhkan untuk mengkanulasi fistula atau tandur AV. Kateter dua lumen yang dipasang baik pada vena subklavikula, jugularis interna, atau femoralis, harus dibuka dalam kondisi aseptic sesuai dengan kebijakan institusi.






Jika akses vaskuler telah ditetapkan, darah mulai mengalir, dibantu oleh pompa darah. Bagian dari sirkuit disposibel sebelum dialiser diperuntukkan sebagai aliran “arterial”, keduanya untuk membedakan darah yang masuk ke dalamnya sebagai darah yang belum mencapai dialiser dan dalam acuan untuk meletakkan jarum: jarum “arterial” diletakkan paling dekat dengan anastomosis AV pada vistula atau tandur untuk memaksimalkan aliran darah. Kantong cairan normal salin yang di klep selalu disambungkan ke sirkuit tepat sebelum pompa darah. Pada kejadian hipotensi, darah yang  mengalir dari pasien dapat diklem sementara cairan normal salin yang diklem dibuka dan memungkinkan dengan cepat menginfus  untuk memperbaiki tekanan darah. Tranfusi darah dan plasma ekspander juga dapat disambungkan ke sirkuit  pada keadaan ini dan dibiarkan untuk menetes, dibantu dengan pompa darah. Infus heparin dapat diletakkan baik sebelum atau sesudah pompa darah, tergantung peralatan yang digunakan.
Dialiser adalah komponen penting selanjutnya dari sirkuit. Darah mengalir ke dalam kompartemen darah dari dialiser, tempat terjadinya pertukaran cairan dan zat sisa. Darah yang meninggalkan dialiser melewati detector udara dan foam yang mengklem dan menghentikan pompa darah bila terdeteksi adanya udara. Pada kondisi seperti ini, setiap obat-obat yang akan diberikan pada dialysis diberikan melalui port obat-obatan. Penting untuk diingat, bagaimanapun bahwa kebanyakan obat-obatan ditunda pemberiannya sampai dialysis selesai kecuali memang diperintahkan.
Darah yang telah melewati dialysis kembali ke pasien melalui “venosa” atau selang postdialiser. Setelah waktu tindakan yang diresepkan, dialysis diakhiri dengan mengklem darah dari pasien, membuka selang aliran normal salin, dan membilas sirkuit untuk mengembalikan darah pasien. Selang dan dialiser dibuang kedalam perangkat akut, meskipun program dialisis kronik sering membeli peralatan untuk membersihkan dan menggunakan ulang dialiser.
Tindakan kewaspadaan umum harus diikuti dengan teliti sepanjang tindakan dialysis karena pemajanan terhadap darah. Masker pelindung wajah dan sarung tangan wajib untuk digunakan oleh perawat yang melakukan hemodialisis.

E. Pedoman Pelaksanaan Hemodialisa
1.      Perawatan sebelum hemodialisa
Ø  Sambungkan selang air dengan mesin hemodialisa
Ø  Kran air dibuka
Ø  Pastikan selang pembuang air dan mesin hemodialisis sudah masuk kelubang atau saluran pembuangan
Ø  Sambungkan kabel mesin hemodialisis ke stop kontak
Ø  Hidupkan mesin
Ø  Pastikan mesin pada posisi rinse selama 20 menit
Ø  Matikan mesin hemodialisis
Ø  Masukkan selang dialisat ke dalam jaringan dialisat pekat
Ø  Sambungkan slang dialisat dengan konektor yang ada pada mesin hemodialisis
Ø  Hidupkan mesin dengan posisi normal (siap)

2.      Menyiapkan sirkulasi darah
Ø  Bukalah alat-alat dialysis dari set nya
Ø  Tempatkan dializer pada tempatnya dan posisi “inset” (tanda merah) diatas dan posisi “outset” (tanda biru) di bawah.
Ø  Hubungkan ujung merah dari ABL dengan ujung “inset”dari dializer.
Ø  Hubungkan ujung biru dari UBL dengan ujung “out set” dari dializer dan tempatkan buble tap di holder dengan posisi tengah..
Ø  Set infus ke botol NaCl 0,9% – 500 cc
Ø  Hubungkan set infus ke slang arteri
Ø  Bukalah klem NaCl 0,9%, isi slang arteri sampai ke ujung slang lalu diklem.
Ø  Memutarkan letak dializer dengan posisi  “inset” di bawah dan “out set” di atas, tujuannya agar dializer bebas dari udara.
Ø  Tutup klem dari slang untuk tekanan arteri, vena, heparin
Ø  Buka klem dari infus set ABL, VBL
Ø  Jalankan pompa darah dengan kecepatan mula-mula 100 ml/menit, kemudian naikkan secara bertahap sampai dengan 200 ml/menit.
Ø  Isi bable-trap dengan NaCl 0,9% sampai ¾ cairan
Ø  Berikan tekanan secara intermiten pada VBL untuk mengalirkan udara dari dalam dializer, dilakukan sampai dengan dializer bebas udara (tekanan lebih dari 200 mmHg).
Ø  Lakukan pembilasan dan pencucian dengan NaCl 0,9% sebanyak 500 cc yang terdapat pada botol (kalf) sisanya ditampung pada gelas ukur.
Ø  Ganti kalf NaCl 0,9% yang kosong dengan kalf NaCl 0,9% baru
Ø  Sambungkan ujung biru VBL dengan ujung merah ABL dengan menggunakan konektor.
Ø  Hidupkan pompa darah selama 10 menit. Untuk dializer baru 15-20 menit untuk dializer reuse dengan aliran 200-250 ml/menit.
Ø  Kembalikan posisi dializer ke posisi semula di mana “inlet” di atas dan “outlet” di bawah.
Ø  Hubungkan sirkulasi darah dengan sirkulasi dialisat selama 5-10 menit, siap untuk dihubungkan dengan pasien )soaking.

3.      Persiapan pasien
Ø  Menimbang berat badan
Ø  Mengatur posisi pasien
Ø  Observasi keadaan umum
Ø  Observasi tanda-tanda vital
Ø  Melakukan kamulasi/fungsi untuk menghubungkan sirkulasi, biasanya mempergunakan salah satu jalan darah/blood akses seperti di bawah ini:
-          Dengan interval A-V shunt / fistula simino
-          Dengan external A-V shunt / schungula
-          Tanpa 1 – 2 (vena pulmonalis)

F. Intrepretasi Hasil
Hasil dari tindakan dialysis harus diintrepretasikan dengan mengkaji jumlah cairan yang dibuang dan koreksi gangguan elektrolit dan asam basa. Darah yang diambil segera setelah dialysis dapat menunjukkan kadar elektrolit, nitrogen urea, dan kreatinin rendah palsu. Proses penyeimbangan berlangsung terus menerus setelah dialysis, sejalan perpindahan zat dari dalam sel ke plasma.

G. Komplikasi
1.      Ketidakseimbangan cairan
a.       Hipervolemia
b.      Ultrafiltrasi
c.       Rangkaian Ultrafiltrasi (Diafiltrasi)
d.      Hipovolemia
e.       Hipotensi
f.       Hipertensi
g.      Sindrom disequilibrium dialysis
2.      Ketidakseimbangan Elektrolit
a.       Natrium serum
b.      Kalium
c.       Bikarbonat
d.      Kalsium
e.       Fosfor
f.       Magnesium
3.      Infeksi
4.      Perdarahan dan Heparinisasi
5.      Troubleshooting
a.       Masalah-masalah peralatan
b.      Aliran dialisat
c.       Konsentrat Dialisat
d.      Suhu
e.       Aliran Darah
f.       Kebocoran Darah
g.      Emboli Udara

6.      Akses ke sirkulasi
a.       Fistula Arteriovenosa
b.      Ototandur
c.       Tandur Sintetik
d.      Kateter Vena Sentral Berlumen Ganda

H. Proses Keperawatan
1.      Pengkajian
Pengkajian Pre HD
  • Riwayat penyakit, tahap penyakit
  • Usia
  • Keseimbangan cairan, elektrolit
  • Nilai laboratorium: Hb, ureum, creatinin, PH
  • Keluhan subyektif: sesak nafas, pusing, palpitasi
  • Respon terhadap dialysis sebelumnya.
  • Status emosional
  • Pemeriksaan fisik: BB, suara nafas, edema, TTV, JVP
  • Sirkuit pembuluh darah.
Pengkajian Post HD
  • Tekanan darah: hipotensi
  • Keluhan: pusing, palpitasi
  • Komplikasi HD: kejang, mual, muntah, dsb

I. Diagnosa Keperawatan yang muncul pada klien yang menjalani hemodialisa
Pre HD
1.      Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang familier dengan sumber informasi.
2.   Cemas b.d krisis situasional
Intra HD
1.    Kelebihan volume cairan berhubungan dengan kelemahan proses pengaturan
2.    Ketidakberdayaan berhubungan dengan perasaan kurang kontrol, ketergantungan pada dialysis, sifat kronis penyakit
3.    Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasive
Post HD
1.    Resiko cedera berhubungan dengan akses vaskuler dan komplikasi sekunder terhadap penusukan
2.    Kurang pengetahuan berhubungan dengan perawatan dirumah


DAFTAR PUSTAKA
Barbara, CL., 1996, Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan proses keperawatan), Bandung.
Brunner & Suddarth, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, alih bahasa: Waluyo Agung., Yasmin Asih., Juli, Kuncara., I.made karyasa, EGC, Jakarta.
Carpenito, L.J., 2000, Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktek Klinis, alih bahasa: Tim PSIK UNPAD Edisi-6, EGC, Jakarta
Doenges,M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C., 1993, Rencana Asuhan Keperawatan untuk perencanaan dan pendukomentasian  perawatan  Pasien, Edisi-3, Alih bahasa; Kariasa,I.M., Sumarwati,N.M., EGC, Jakarta
Puji Rahardjo, 2001, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam,  Jilit II, Edisi III, BP FKUI Jakarta.
Hudak, Gallo, 1996, Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik, Volume II, Jakarta, EGC.



Askep Luka Bakar

 
i
 
9 Votes
Quantcast

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN LUKA BAKAR

Definisi
Luka bakar (combustio/burn) adalah cedera (injuri) sebagai akibat kontak langsung atau terpapar dengan sumber-sumber panas (thermal), listrik (electrict), zat kimia (chemycal), atau radiasi (radiation) .
Insiden
Perawatan luka bakar mengalami perbaikan/kemajuan dalam dekade terakhir ini, yang mengakibatkan menurunnya angka kematian akibat luka bakar. Pusat-pusat perawatan luka bakar telah tersedia cukup baik, dengan anggota team yang menangani luka bakar terdiri dari berbagai disiplin yang saling bekerja sama untuk melakukan perawatan pada klien dan keluarganya.
Di Amerika kurang lebih 2 juta penduduknya memerlukan pertolongan medik setiap tahunnya untuk injuri yang disebabkan karena luka bakar. 70.000 diantaranya dirawat di rumah sakit dengan injuri yang berat.
Luka bakar merupakan penyebab kematian ketiga akibat kecelakaan pada semua kelompok umur. Laki-laki cenderung lebih sering mengalami luka bakar dari pada wanita, terutama pada orang tua atau lanjut usia ( diatas 70 th).

Etiologi
Luka bakar dikategorikan menurut mekanisme injurinya meliputi :

Luka Bakar Termal
Luka bakar thermal (panas) disebabkan oleh karena terpapar atau kontak dengan api, cairan panas atau objek-objek panas lainnya.

Luka Bakar Kimia
Luka bakar chemical (kimia) disebabkan oleh kontaknya jaringan kulit dengan asam atau basa kuat. Konsentrasi zat kimia, lamanya kontak dan banyaknya jaringan yang terpapar menentukan luasnya injuri karena zat kimia ini. Luka bakar kimia dapat terjadi misalnya karena kontak dengan zat-zat pembersih yang sering dipergunakan untuk keperluan rumah tangga dan berbagai zat kimia yang digunakan dalam bidang industri, pertanian dan militer. Lebih dari 25.000 produk zat kimia diketahui dapat menyebabkan luka bakar kimia.

Luka Bakar Elektrik
Luka bakar electric (listrik) disebabkan oleh panas yang digerakan dari energi listrik yang dihantarkan melalui tubuh. Berat ringannya luka dipengaruhi oleh lamanya kontak, tingginya voltage dan cara gelombang elektrik itu sampai mengenai tubuh.

Luka Bakar Radiasi
Luka bakar radiasi disebabkan oleh terpapar dengan sumber radioaktif. Tipe injuri ini seringkali berhubungan dengan penggunaan radiasi ion pada industri atau dari sumber radiasi untuk keperluan terapeutik pada dunia kedokteran. Terbakar oleh sinar matahari akibat terpapar yang terlalu lama juga merupakan salah satu tipe luka bakar radiasi.




Faktor Resiko
Data yang berhasil dikumpulkan oleh Natinal Burn Information Exchange menyatakan 75 % semua kasus injuri luka bakar, terjadi didalam lingkungan rumah. Klien dengan usia lebih dari 70 tahun beresiko tinggi untuk terjadinya luka bakar.

Efek Patofisiologi Luka Bakar
1. Pada Kulit
Perubahan patofisiologik yang terjadi pada kulit segera setelah luka bakar tergantung pada luas dan ukuran luka bakar. Untuk luka bakar yang kecil (smaller burns), respon tubuh bersifat lokal yaitu terbatas pada area yang mengalami injuri. Sedangkan pada luka bakar yang lebih luas misalnya 25 % dari total permukaan tubuh (TBSA : total body surface area) atau lebih besar, maka respon tubuh terhadap injuri dapat bersifat sistemik dan sesuai dengan luasnya injuri. Injuri luka bakar yang luas dapat mempengaruhi semua sistem utama dari tubuh, seperti :

2. Sistem kardiovaskuler
Segera setelah injuri luka bakar, dilepaskan substansi vasoaktif (catecholamine, histamin, serotonin, leukotrienes, dan prostaglandin) dari jaringan yang mengalmi injuri. Substansi-substansi ini menyebabkan meningkatnya permeabilitas kapiler sehingga plasma merembes (to seep) kedalam sekitar jaringan. Injuri panas yang secara langsung mengenai pembuluh akan lebih meningkatkan permeabilitas kapiler. Injuri yang langsung mengenai memberan sel menyebabkan sodium masuk dan potassium keluar dari sel. Secara keseluruhan akan menimbulkan tingginya tekanan osmotik yang menyebabkan meningkatnya cairan intracellular dan interstitial dan yang dalam keadaan lebih lanjut menyebabkan kekurangan volume cairan intravaskuler. Luka bakar yang luas menyebabkan edema tubuh general baik pada area yang mengalami luka maupun jaringan yang tidak mengalami luka bakar dan terjadi penurunan sirkulasi volume darah intravaskuler. Denyut jantung meningkat sebagai respon terhadap pelepasan catecholamine dan terjadinya hipovolemia relatif, yang mengawali turunnya kardiac output. Kadar hematokrit meningkat yang menunjukan hemokonsentrasi dari pengeluaran cairan intravaskuler. Disamping itu pengeluaran cairan secara evaporasi melalui luka terjadi 4-20 kali lebih besar dari normal. Sedangkan pengeluaran cairan yang normal pada orang dewasa dengan suhu tubuh normal perhari adalah 350 ml. (lihat tabel 1)
Tabel 1 : Rata-rata output cairan perhari untuk orang dewasa
Rute
Jumlah (ml) pada suhu normal
Urin Insensible losses:
  • · Paru
  • · Kulit
Keringat
Feces
1400 350
350
100
100
Total : 2300
Sumber : Adapted form A.C. Guyton, Textbook of medical physiology, 7th ed. (Philadelphia: WB. Saunder Co., 1986) p. 383
Keadaan ini dapat mengakibatkan penurunan pada perfusi organ. Jika ruang intravaskuler tidak diisi kembali dengan cairan intravena maka shock hipovolemik dan ancaman kematian bagi penderita luka bakar yang luas dapat terjadi.
Kurang lebih 18-36 jam setelah luka bakar, permeabilitas kapiler menurun, tetapi tidak mencapai keadaan normal sampai 2 atau 3 minggu setelah injuri. Kardiac outuput kembali normal dan kemudian meningkat untuk memenuhi kebutuhan hipermetabolik tubuh kira-kira 24 jam setelah luka bakar. Perubahan pada kardiak output ini terjadi sebelum kadar volume sirkulasi intravena kembali menjadi normal. Pada awalnya terjadi kenaikan hematokrit yang kemudian menurun sampai di bawah normal dalam 3-4 hari setelah luka bakar karena kehilangan sel darah merah dan kerusakan yang terjadi pada waktu injuri. Tubuh kemudian mereabsorbsi cairan edema dan diuresis cairan dalam 2-3 minggu berikutnya.

3. Sistem Renal dan Gastrointestinal
Respon tubuh pada mulanya adalah berkurangnya darah ke ginjal dan menurunnya GFR (glomerular filtration rate), yang menyebabkan oliguri. Aliran darah menuju usus juga berkurang, yang pada akhirnya dapat terjadi ileus intestinal dan disfungsi gastrointestia pada klien dengan luka bakar yang lebih dari 25 %.
4. Sistem Imun
Fungsi sistem immune mengalami depresi. Depresi pada aktivitas lymphocyte, suatu penurunan dalam produksi immunoglobulin, supresi aktivitas complement dan perubahan/gangguan pada fungsi neutropil dan macrophage dapat terjadi pada klien yang mengalami luka bakar yang luas. Perubahan-perubahan ini meningkatkan resiko terjadinya infeksi dan sepsis yang mengancam kelangsungan hidup klien.

5. Sistem Respiratori
Dapat mengalami hipertensi arteri pulmoner, mengakibatkan penurunan kadar oksigen arteri dan “lung compliance”.
  1. Smoke Inhalation.
Menghisap asap dapat mengakibatkan injuri pulmoner yang seringkali berhubungan dengan injuri akibat jilatan api. Kejadian injuri inhalasi ini diperkirakan lebih dari 30 % untuk injuri yang diakibatkan oleh api.
Manifestasi klinik yang dapat diduga dari injuri inhalasi meliputi adanya LB yang mengenai wajah, kemerahan dan pembengkakan pada oropharynx atau nasopharynx, rambut hidung yang gosong, agitasi atau kecemasan, tachipnoe, kemerahan pada selaput hidung, stridor, wheezing, dyspnea, suara serak, terdapat carbon dalam sputum, dan batuk. Bronchoscopy dan Scaning paru dapat mengkonfirmasikan diagnosis.
Patofisiologi pulmoner yang dapat terjadi pada injuri inhalasi berkaitan dengan berat dan tipe asap atau gas yang dihirup.
  1. Keracunan Carbon Monoxide.
CO merupakan produk yang sering dihasilkan bila suatu substansi organik terbakar. Ia merupakan gas yang tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa, yang dapat mengikat hemoglobin 200 kali lebih besar dari oksigen. Dengan terhirupnya CO, maka molekul oksigen digantikan dan CO secara reversibel berikatan dengan hemoglobin sehingga membentuk carboxyhemoglobin (COHb). Hipoksia jaringan dapat terjadi akibat penurunan secara menyeluruh pada kemampuan pengantaran oksigen dalam darah. Kadar COHb dapat dengan mudah dimonitor melalui kadar serum darah. Manifestasi dari keracunan CO adalah sbb (lihat tabel 2) :
Tabel 2 : Manifestasi klinik keracunan CO (Carbon Monoxida)
Kadar CO (%)
Manifestasi Klinik
5 – 10 11 – 20
21 – 30
31 – 40
41 – 50
> 50
Gangguan tajam penglihatan Nyeri kepala
Mual, gangguan ketangkasan
Muntah, dizines, sincope
Tachypnea, tachicardia
Coma, mati
Diambil dari Cioffi W.G., Rue L.W. (1991). Diagnosis and treatment of inhalation injuries. Critical Care Clinics of North America, 3(2), 195.

Klasifikasi Beratnya Luka Bakar
1. Faktor yang mempengaruhi berat ringannya luka bakar
Beberapa faktor yang mempengaruhi berat-ringannya injuri luka bakar antara lain kedalaman luka bakar, luas luka bakar, lokasi luka bakar, kesehatan umum, mekanisme injuri dan usia
Berikut ini akan dijelaskan sekilas tentang faktor-faktor tersebut di atas:
a. Kedalaman luka bakar
Kedalaman luka bakar dapat dibagi ke dalam 4 kategori (lihat tabel 3) yang didasarkan pada elemen kulit yang rusak.

Tabel 3 : Kedalaman Luka Bakar

1. Superficial (derajat I), dengan ciri-ciri sbb:
  • · Hanya mengenai lapisan epidermis.
  • · Luka tampak pink cerah sampai merah (eritema ringan sampai berat).
  • · Kulit memucat bila ditekan.
  • · Edema minimal.
  • · Tidak ada blister.
  • · Kulit hangat/kering.
  • · Nyeri / hyperethetic
  • · Nyeri berkurang dengan pendinginan.
  • · Discomfort berakhir kira-kira dalam waktu 48 jam.
  • · Dapat sembuh spontan dalam 3-7 hari.
2. Partial thickness (derajat II), dengan ciri sbb.:
  • · Partial tihckness dikelompokan menjadi 2, yaitu superpicial partial thickness dan deep partial thickness.
  • · Mengenai epidermis dan dermis.
  • · Luka tampak merah sampai pink
  • · Terbentuk blister
  • · Edema
  • · Nyeri
  • · Sensitif terhadap udara dingin
  • · Penyembuhan luka :
Ø Superficial partial thickness : 14 – 21 hari
Ø Deep partial thickness : 21 – 28 hari
(Namun demikian penyembuhannya bervariasi tergantung dari kedalaman dan ada tidaknya infeksi).

3. Full thickness (derajat III)
  • · Mengenai semua lapisan kulit, lemak subcutan dan dapat juga mengenai permukaan otot, dan persarafan dan pembuluh darah.
  • · Luka tampak bervariasi dari berwarna putih, merah sampai dengan coklat atau hitam.
  • · Tanpa ada blister.
  • · Permukaan luka kering dengan tektur kasar/keras.
  • · Edema.
  • · Sedikit nyeri atau bahkan tidak ada rasa nyeri.
  • · Tidak mungkin terjadi penyembuhan luka secara spontan.
  • · Memerlukan skin graft.
  • · Dapat terjadi scar hipertropik dan kontraktur jika tidak dilakukan tindakan preventif.

4. Fourth degree (derajat IV)
  • · Mengenai semua lapisan kulit, otot dan tulang.
b. Luas luka bakar
Terdapat beberapa metode untuk menentukan luas luka bakar meliputi (1) rule of nine, (2) Lund and Browder, dan (3) hand palm. Ukuran luka bakar dapat ditentukan dengan menggunakan salah satu dari metode tersebut. Ukuran luka bakar ditentukan dengan prosentase dari permukaan tubuh yang terkena luka bakar. Akurasi dari perhitungan bervariasi menurut metode yang digunakan dan pengalaman seseorang dalam menentukan luas luka bakar.
Metode rule of nine mulai diperkenalkan sejak tahun 1940-an sebagai suatu alat pengkajian yang cepat untuk menentukan perkiraan ukuran / luas luka bakar. Dasar dari metode ini adalah bahwa tubuh di bagi kedalam bagian-bagian anatomic, dimana setiap bagian mewakili 9 % kecuali daerah genitalia 1 % (lihat gambar 1).
Pada metode Lund and Browder merupakan modifikasi dari persentasi bagian-bagian tubuh menurut usia, yang dapat memberikan perhitungan yang lebih akurat tentang luas luka bakar (lihat gambar 2 atau tabel 2).
Selain dari kedua metode tersebut di atas, dapat juga digunakan cara lainnya yaitu mengunakan metode hand palm. Metode ini adalah cara menentukan luas atau persentasi luka bakar dengan menggunakan telapak tangan. Satu telapak tangan mewakili 1 % dari permukaan tubuh yang mengalami luka bakar.

c. Lokasi luka bakar (bagian tubuh yang terkena)
Berat ringannya luka bakar dipengaruhi pula oleh lokasi luka bakar. Luka bakar yang mengenai kepala, leher dan dada seringkali berkaitan dengan komplikasi pulmoner. Luka bakar yang menganai wajah seringkali menyebabkan abrasi kornea. Luka bakar yang mengenai lengan dan persendian seringkali membutuhkan terapi fisik dan occupasi dan dapat menimbulkan implikasi terhadap kehilangan waktu bekerja dan atau ketidakmampuan untuk bekerja secara permanen. Luka bakar yang mengenai daerah perineal dapat terkontaminasi oleh urine atau feces. Sedangkan luka bakar yang mengenai daerah torak dapat menyebabkan tidak adekwatnya ekspansi dinding dada dan terjadinya insufisiensi pulmoner.
d. Kesehatan umum
Adanya kelemahan jantung, penyakit pulmoner, endocrin dan penyakit-penyakit ginjal, khususnya diabetes, insufisiensi kardiopulmoner, alkoholisme dan gagal ginjal, harus diobservasi karena semua itu akan mempengaruhi respon klien terhadap injuri dan penanganannya.
Angka kematian pada klien yang memiliki penyakit jantung adalah 3,5 – 4 kali lebih tinggi dibandingkan klien luka bakar yang tidak menderita penyakit jantung. Demikian pula klien luka bakar yang juga alkolism 3 kali lebih tinggi angka kematiannya dibandingkan klien luka bakar yang nonalkoholism. Disamping itu juga klien alkoholism yang terkena luka bakar masa hidupnya akan lebih lama berada di rumah sakit, artinya penderita luka bakar yang juga alkoholism akan lebih lama hari rawatnya di rumah sakit.
e. Mekanisme injuri
Mekanisme injury merupakan faktor lain yang digunakan untuk menentukan berat ringannya luka bakar. Secra umum luka bakar yang juga mengalami injuri inhalasi memerlukan perhatian khusus.
Pada luka bakar elektrik, panas yang dihantarkan melalui tubuh, mengakibatkan kerusakan jaringan internal. Injury pada kulit mungkin tidak begitu berarti akan tetapi kerusakan otot dan jaringan lunak lainnya dapat terjad lebih luas, khususnya bila injury elektrik dengan voltage tinggi. Oleh karena itu voltage, tipe arus (direct atau alternating), tempat kontak, dan lamanya kontak adalah sangat penting untuk diketahui dan diperhatikan karena dapat mempengaruhi morbiditi.
Alternating current (AC) lebih berbahaya dari pada direct current (DC). Ini seringkali berhubungan dengan terjadinya kardiac arrest (henti jantung), fibrilasi ventrikel, kontraksi otot tetani, dan fraktur kompresi tulang-tulang panjang atau vertebra.
Pada luka bakar karena zat kimia keracunan sistemik akibat absorbsi oleh kulit dapat terjadi.
f. Usia
Usia klien mempengaruhi berat ringannya luka bakar. Angka kematiannya (Mortality rate) cukup tinggi pada anak yang berusia kurang dari 4 tahun, terutama pada kelompok usia 0-1 tahun dan klien yang berusia di atas 65 th.
Tingginya statistik mortalitas dan morbiditas pada orang tua yang terkena luka bakar merupakan akibat kombinasi dari berbagai gangguan fungsional (seperti lambatnya bereaksi, gangguan dalam menilai, dan menurunnya kemampuan mobilitas), hidup sendiri, dan bahaya-bahaya lingkungan lainnya. Disamping itu juga mereka lebih rentan terhadap injury luka bakar karena kulitnya menjadi lebih tipis, dan terjadi athropi pada bagian-bagian kulit lain. Sehingga situasi seperti ketika mandi dan memasak dapat menyebabkan terjadinya luka bakar.
2. Kategori berat luka bakar menurut ABA
Perkumpulan Luka Bakar America (American Burn Asociation/ABA) mempublikasikan petunjuk tentang klasifikasi beratnya luka bakar. Perkumpulan itu mengklasifikasikan beratnya luka bakar ke dalam 3 kategori, dengan petunjuknya seperti tampak dalam tabel berikut :

Tabel 4 : Petunjuk klasifikasi beratnya luka bakar menurut ABA

Luka Bakar Berat
  • · 25 % pada orang dewasa
  • · 25 % pada anak dengan usia kurang dari 10 tahun
  • · 20 % pada orang dewasa dengan usia lebih dari 40 tahun
  • · Luka mengenai wajah, mata, telinga, lengan, kaki, dan perineum yang
  • · mengakibatkan gangguan fungsional atau kosmetik atau menimbulkan disabiliti.
  • · LB karena listrik voltage tinggi
  • · Semua LB dengan yang disertai injuri inhalasi atau truma yang berat.

Luka Bakar Sedang
  • · 15-25 % mengenai orang dewasa
  • · 10-20 % pada anak usia kurang dari 10 tahun
  • · 10-20 % pada orang dewasa usia lebih dari 40 tahun
  • · <>

Luka Bakar Ringan
  • · <>
  • · <>< 10 th
  • · <>> 40 th
  • · Tidak ada resiko gangguan kosmetik atau fungsional atau disabiliti.
Dari American Burn Association. (1984). Guidelines for service standars and severity classification in the treatment of burn injury. Bulletin of the American College of Surgeons, 69(10), 24-28.

Management

Berbagai macam respon sistem organ yang terjadi setelah mengalami luka bakar menuntut perlunya pendekatan antar disiplin. Perawat bertanggung jawab untuk mengembangkan rencana perawatan yang didasarkan pada pengkajian data yang merefleksikan kebutuhan fisik dan psikososial klien dan keluarga atau orang lain yang dianggap penting.
Diagnosa keperawatan, tujuan dan intervensinya dapat dilihat pada rencana perawatan di halaman lainnya. Secara klinis klien luka bakar dapat dibagi kedalam 3 fase, yaitu : 1) Fase emergent dan resusitasi 2) Fase acut dan 3) Fase Rehabilitasi. Berikut ini akan diuraikan sekilas tentang fase tsb.:
1. Fase Emergent (Resusitasi)
Fase emergensi dimulai pada saat terjadinya injury dan diakhiri dengan membaiknya permeabilitas kapiler, yang biasanya terjadi pada 48-72 jam setelah injury. Tujuan utama pemulihan selama fase ini adalah untuk mencegah shock hipovolemik dan memelihara fungsi dari organ vital. Yang termasuk ke dalam fase emergensi adalah (a) perawatan sebelum di rumah sakit, (b) penanganan di bagian emergensi dan (c) periode resusitasi. Hal tersebut akan dibahas berikut ini :
a. Perawatan sebelum di rumah sakit (pre-hospital care)
Perawatan sebelum klien dibawa ke rumah sakit dimulai pada tempat kejadian luka bakar dan berakhir ketika sampai di institusi pelayanan emergensi. Pre-hospital care dimulai dengan memindahkan/menghindarkan klien dari sumber penyebab LB dan atau menghilangkan sumber panas (lihat tabel).

Tabel 5 : Petunjuk perawatan klien luka bakar sebelum di rumah sakit

1. Jauhkan penderita dari sumber LB
  • · Padamkan pakaian yang terbakar
  • · Hilangkan zat kimia penyebab LB
  • · Siram dengan air sebanyak-banyaknya bila karena zat kimia
  • · Matikan listrik atau buang sumber listrik dengan menggunakan objek yang kering dan tidak menghantarkan arus (nonconductive)
2. Kaji ABC (airway, breathing, circulation):
  • · Perhatikan jalan nafas (airway)
  • · Pastikan pernafasan (breathibg) adekwat
  • · Kaji sirkulasi
3. Kaji trauma yang lain
4. Pertahankan panas tubuh
5. Perhatikan kebutuhan untuk pemberian cairan intravena
6. Transportasi (segera kirim klien ka rumah sakit)
Diambil dari Trunkey, D.D. (1983). Transporting the critically burned patient. In T.L. Wachtel, et al. (Eds): Current Topics In Burn Care, Rockville, MD: Aspen Publications.

b. Penanganan dibagian emergensi
Perawatan di bagian emergensi merupakan kelanjutan dari tindakan yang telah diberikan pada waktu kejadian. Jika pengkajian dan atau penanganan yang dilakukan tidak adekuat, maka pre hospital care di berikan di bagian emergensi. Penanganan luka (debridemen dan pembalutan) tidaklah diutamakan bila ada masalah-masalah lain yang mengancam kehidupan klien, maka masalah inilah yang harus diutamakan
(1) Penanganan Luka Bakar Ringan
Perawatan klien dengan LB ringan seringkali diberikan dengan pasien rawat jalan. Dalam membuat keputusan apakah klien dapat dipulangkan atau tidak adalah dengan memperhatiakn antara lain 1) kemampuan klien untuk dapat menjalankan atau mengikuti intruksi-instruksi dan kemampuan dalam melakukan perawatan secara mandiri (self care), 2) lingkungan rumah. Apabila klien mampu mengikuti instruksi dan perawatan diri serta lingkungan di rumah mendukung terjadinya pemulihan maka klien dapat dipulangkan.
Perawatan di bagian emergensi terhadap luka bakar minor meliputi : menagemen nyeri, profilaksis tetanus, perawatan luka tahap awal dan pendidikan kesehatan.
a) Managemen nyeri
Managemen nyeri seringkali dilakukan dengan pemberian dosis ringan morphine atau meperidine dibagian emergensi. Sedangkan analgetik oral diberikan untuk digunakan oleh pasien rawat jalan.
b) Profilaksis tetanus
Petunjuk untuk pemberian profilaksis tetanus adalah sama pada penderita LB baik yang ringan maupun tipe injuri lainnya. Pada klien yang pernah mendapat imunisasi tetanus tetapi tidak dalam waktu 5 tahun terakhir dapat diberikan boster tetanus toxoid. Untuk klien yang tidak diimunisasi dengan tetanus human immune globulin dan karenanya harus diberikan tetanus toxoid yang pertama dari serangkaian pemberian imunisasi aktif dengan tetanus toxoid.
c) Perawatan luka awal
Perawatan luka untuk LB ringan terdiri dari membersihkan luka (cleansing) yaitu debridemen jaringan yang mati; membuang zat-zat yang merusak (zat kimia, tar, dll); dan pemberian/penggunaan krim atau salep antimikroba topikal dan balutan secara steril. Selain itu juga perawat bertanggung jawab memberikan pendidikan tentang perawatan luka di rumah dan manifestasi klinis dari infeksi agar klien dapat segera mencari pertolongan. Pendidikan lain yang diperlukan adalah tentang pentingnya melakukan latihan ROM (range of motion) secara aktif untuk mempertahankan fungsi sendi agar tetap normal dan untuk menurunkan pembentukan edema dan kemungkinan terbentuknya scar. Dan perlunya evaluasi atau penanganan follow up juga harus dibicarakan dengan klien pada waktu itu.
d) Pendidikan / penyuluhan kesehatan
Pendidikan tentang perawatan luka, pengobatan, komplikasi, pencegahan komplikasi, diet, berbagai fasilitas kesehatan yang ada di masyarakat yang dapat di kunjungi jika memmerlukan bantuan dan informasi lain yang relevan perlu dilakukan agar klien dapat menolong dirinya sendiri.
(2) Penanganan Luka Bakar Berat.
Untuk klien dengan luka yang luas, maka penanganan pada bagian emergensi akan meliputi reevaluasi ABC (jalan nafas, kondisi pernafasan, sirkulasi ) dan trauma lain yang mungkin terjadi; resusitasi cairan (penggantian cairan yang hilang); pemasangan kateter urine; pemasangan nasogastric tube (NGT); pemeriksaan vital signs dan laboratorium; management nyeri; propilaksis tetanus; pengumpulan data; dan perawatan luka.
Berikut adalah penjelasan dari tiap-tiap penanganan tersebut, yakni sebagai berikut.
a) Reevaluasi jalan nafas, kondisi pernafasan, sirkulasi dan trauma lain yang mungkin terjadi.
Menilai kembali keadaan jalan nafas, kondisi pernafasan, dan sirkulasi unutk lebih memastikan ada tidaknya kegawatan dan untuk memastikan penanganan secara dini. Selain itu melakukan pengkajian ada tidaknya trauma lain yang menyertai cedera luka bakar seperti patah tulang, adanya perdarahan dan lain-lain perlu dilakukan agar dapat dengan segera diketahui dan ditangani.
b) Resusitasi cairan (penggantian cairan yang hilang)
Bagi klien dewasa dengan luka bakar lebih dari 15 %, maka resusitasi cairan intravena umumnya diperlukan. Pemberian intravena perifer dapat diberikan melaui kulit yang tidak terbakar pada bagian proximal dari ekstremitas yang terbakar. Sedangkan untuk klien yang mengalami luka bakar yang cukup luas atau pada klien dimana tempat-tempat untuk pemberian intravena perifer terbatas, maka dengan pemasangan kanul (cannulation) pada vena central (seperti subclavian, jugular internal atau eksternal, atau femoral) oleh dokter mungkin diperlukan.
Luas atau persentasi luka bakar harus ditentukan dan kemudian dilanjutkan dengan resusitasi cairan. Resusitasi cairan dapat menggunakan berbagai formula yang telah dikembangkan seperti pada tabel 6 tentang formula resusitasi cairan berikut.

Tabel 6 : Formula resusitasi cairan yang digunakan dalam perawatan luka bakar


24 jam pertama
24 jam kedua
Formula
Elektrolit
Koloid
Dextros
Elektrolit
Koloid
Dextros
Evans Normal saline 1 ml/kg/% 1 ml/kg/% 2000 ml 0,5 kebutuhan 24 jam I 0,5 kebutuhan 24 jam I 2000 ml
Brooke RL 1,5 ml/kg/% 0,5 ml/kg/% 2000 ml 0,5-0,75 kebutuh-an 24 jam I 0,5-0,75 kebutuh- an 24 jam I 2000 ml
Modifi-kasi Brooke RL 2 ml/kg/%


0,3-0,5 ml/kg/%
Parkland RL 4 ml/kg/%


0,3-0,5 ml/kg/% 2000 ml








Diambil dari Rue, L.W. & Cioffi, W.G. (1991). Resuscitation of thermally injured patients. Critical Care Nursing Clinics of North America, 3(2),185; and Wachtel & Fortune (1983), Fluid resuscitation for burn shock. In T.L. Wachtel et al (Eds.), Current topic in burn care (p. 44). Rockville,MD: Aspen Publisher, Inc.
Periode resuscitasi dimulai dengan tindakan resusitasi cairan dan diakhiri bila integritas kapiler kembali mendekati keadaan normal dan perpindahan cairan yang banyak mengalami penurunan.
Resusitasi cairan dimulai untuk meminimalkan efek yang merusak dari perpindahan cairan. Tujuan resuscitasi cairan adalah untuk mempertahankan ferfusi organ vital serta menghindari komlikasi terapi yang tidak adekuat atau berlebihan. Terdapat beberapa formula yang digunakan untuk menghitung kebutuhan cairan seperti tampak dalam tabel diatas.
Banyaknya/jumlah cairan yang pasti didasarkan pada berat badan klien dan luasnya injury luka bakar. Faktor lain yang menjadi pertimbangan meliputi adalah adanya inhalasi injuri, keterlambatan resusitasi awal, atau kerusakan jaringan yang lebih dalam. Faktor-faktor ini cenderung meningkatkan jumlah/banyaknya cairan intravena yang dibutuhkan untuk resusitasi adekuat di atas jumlah yang telah dihitung. Dengan pengecualian pada formula Evan dan Brooke, cairan yang mengandung colloid tidak diberikan selama periode ini karena perubahan-perubahan pada permeabilitas kapiler yang menyebabkan kebocoran cairan yang banyak mengandung protein kedalam ruang interstitial, sehingga meningkatkan pembentukan edema. Selama 24 jam kedua setelah luka bakar, larutan yang mengandung colloid dapat diberikan, dengan dextrose 5% dan air dalam jumlah yang bervariasi.
Sangat penting untuk diingat bahwa senmua formula resusitasi yang ada hanyalah sebagai alat bantu dan harus disesuaikan dengan respon fisiologis klien. Keberhasilan atau keadekuatan resusitasi cairan pada orang dewasa ditandai dengan stabilnya vital signs, adekuatnya output urine, dan nadi perifer yang dapat diraba.
c) Pemasangan kateter urine
Pemasangan kateter harus dilakukan untuk mengukur produksi urine setiap jam. Output urine merupakan indikator yang reliable untuk menentukan keadekuatan dari resusitasi cairan.
d) Pemasangan nasogastric tube (NGT)
Pemasangan NGT bagi klien LB 20 % -25 % atau lebih perlu dilakukan untuk mencegah emesis dan mengurangi resiko terjadinya aspirasi. Disfungsi ganstrointestinal akibat dari ileus dapat terjadi umumnya pada klien tahap dini setelah luka bakar. Oleh karena itu semua pemberian cairan melalui oral harus dibatasi pada waktu itu.
e) Pemeriksaan vital signs dan laboratorium
Vital signs merupakan informasi yang penting sebagai data tambahan untuk menentukan adekuat tidaknya resuscitasi.
Pemeriksaan laboratorium dasar akan meliputi pemeriksaan gula darah, BUN (blood ures nitrogen), creatini, elektrolit serum, dan kadar hematokrit. Kadar gas darah arteri (analisa gas darah), COHb juga harus diperiksa, khususnya jika terdapat injuri inhalasi. Tes-tes laboratorium lainnya adalah pemeriksaan x-ray untuk mengetahui adanya fraktur atau trauma lainnya mungkin perlu dilakukan jika dibutuhkan. Monitoring EKG terus menerus haruslah dilakukan pada semua klien dengan LB berat, khususnya jika disebabkan oleh karena listrik dengan voltase tinggi, atau pada klien yang mempunyai riwayat iskemia jantung atau dysrhythmia.
f) Management nyeri
Penanganan nyeri dapat dicapai melalui pemberian obat narcotik intravena, seperti morphine. Pemberian melalui intramuskuler atai subcutan tidak dianjurkan karena absorbsi dari jaringan lunak tidak cukup baik selama periode ini bila hipovolemia dan perpindhan cairan yang banyak masih terjadi. Demikian juga pemberian obat-obatan untuk mengatasi secara oral tidak dianjurkan karena adanya disfungsi gastrointestial.
g) Propilaksis tetanus
Propilaksis tetanus pada klien LB adalah sama, baik pada luka bakar berat maupun luka bakar yang ringan.
h) Pengumpulan data
Pengumpulan data merupakan tanggung jawab yang sangat penting bagi team yang berada di ruang emergensi. Kepada klien atau yang lainnya perlu ditanyakan tentang kejadian kecelakaan LB tersebut. Informasi yang diperlukan meliputi waktu injuri, tingkat kesadaran pada waktu kejadian, apakah ketika injuri terjadi klien berada di ruang tertutup atau terbuka, adakah truma lainya, dan bagaimana mekanisme injurinya. Jika klien terbakar karena zat kimia, tanyak tentang zat kimia apa yang menjadi penyebabnya, konsentrasinya, lamanya terpapar dan apakah dilakuak irigari segera setelah injuri. Sedangkan jika klien menderita LB karena elektrik, maka perlu ditanyakan tentang sumbernya, tipe arus dan voltagenya yang dapat digunakan untuk menentukan luasnya injuri. Informasi lain yang diperlukan adalah tentang riwayat kesehatan klien masa lalu seperti kesehatan umum klien. Informasi yang lebih khusus adalah berkaitan dengan penyakit-penyakit jantung, pulmoner, endokrin dan penyakit ginjal karena itu semua mempunyai implikasi terhadap treatment. Disamping itu perlu pula diketahui tentang riwayat alergi klien, baik terhadap obat maupun yang lainnya.
i) Perawatan luka
Luka yang mengenai sekeliling ekstremitas dan torak dapat mengganggu sirkulasi dan respirasi, oleh karena itu harus mendapat perhatian. Komplikasi ini lebih mudah terjadi selama resusitasi, bila cairan berpindah ke dalam jaringan interstitial berada pada puncaknya. Pada LB yang mengenai sekeliling ekstremitas, maka meninggikan bagian ekstremitas diatas jantung akan membantu menurunkan edema dependen; walaupun demikian gangguan sirkulasi masih dapat terjadi. Oleh karena pengkajian yang sering terhadap perfusi ekstremitas bagian distal sangatlah penting untuk dilakukan.
Escharotomy merupakan tindakan yang tepat untuk masalah gangguan sirkulasi karena LB yang melingkari bagian tubuh. Seorang dokter melaukan insisi terhadap eschar yang akan mengurangi/menghilangkan konstriksi sirkulasi. Umumnya dilakukan ditempat tidur klien dan tanpa menggunakan anaetesi karena eschar tidak berdarah dan tidak nyeri. Namun jaringan yang masih hidup dibawah luka dapat berdarah. Jika perfusi jaringan adekuat tidak berhasil, maka dapat dilakukan fasciotomy. Prosedur ini adalah menginsisi fascia, yang dilakukan di ruang operasi dengan menggunakan anestesi.
Demikian juga, escharotomy dapat dilakukan pada luka bakar yang mengenai torak untuk memperbaiki ventilasi. Setelah dilakukan tindakan escharotomy, maka perawat perlu melakukan monitoring terhadap perbaikan ventilasi.
Perawatan luka dibagian emergensi terdiri-dari penutupan luka dengan sprei kering, bersih dan baju hangat untuk memelihara panas tubuh. Klien dengan luka bakar yang mengenai kepala dan wajah diletakan pada posisi kepala elevasi dan semua ekstremitas yang terbakar dengan menggunakan bantal sampai diatas permukaan jantung. Tindakan ini dapat membantu menurunkan pembentukan edema dependent. Untuk LB ringan kompres dingin dan steril dapat mengatasi nyeri. Kemudian dibawa menuju fasilitas kesehatan.
2. Fase Akut
Fase akut dimulai ketika pasien secara hemodinamik telah stabil, permeabilitas kapiler membaik dan diuresis telah mulai. Fase ini umumnya dianggap terjadi pada 48-72 jam setelah injuri.
Fokus management bagi klien pada fase akut adalah sebagai berikut : mengatasi infeksi, perawatan luka, penutupan luka, nutrisi, managemen nyeri, dan terapi fisik.
a. Mengatasi infeksi
Sumber-sumber infeksi pada klien dengan luka bakar meliputi autocontaminasi dari:
  • · Oropharynx
  • · Fecal flora
  • · Kulit yg tidak terbakar dan
  • · Kontaminasi silang dari staf
  • · Kontaminasi silang dari pengunjung
  • · Kontaminasi silang dari udara
Kegiatan khusus untuk mengatasi infeksi dan tehnik isolasi harus dilakukan pada semua pusat-pusat perawatan LB. Kegiatan ini berbeda dan meliputi penggunaan sarung tangan, tutp kepala, masker, penutup kaki, dan pakaian plastik. Membersihkan tangan yang baik harus ditekankan untuk menurunkan insiden kontaminasi silang diantara klien. Staf dan pengunjung umumnya dicegah kontak dengan klien jika ia menderita infeksi baik pada kulit, gastrointestinal atau infeksi saluran nafas.
b. Perawatan luka
Perawatan luka diarahkan untuk meningkatkan penyembuhan luka. Perawatan luka sehari-hari meliputi membersihkan luka, debridemen, dan pembalutan luka.
1) Hidroterapi
Membersihkan luka dapat dilakukan dengan cara hidroterapi. Hidroterapi ini terdiri dari merendam (immersion) dan dengan shower (spray). Tindakan ini dilakukan selama 30 menit atau kurang untuk klien dengan LB acut. Jika terlalu lama dapat meningkatkan pengeluaran sodium (karena air adalah hipotonik) melalui luka, pengeluaran panas, nyeri dan stress. Selama hidroterapi, luka dibersihkan secara perlahan dan atau hati-hati dengan menggunakan berbagai macam larutan seperti sodium hipochloride, providon iodine dan chlorohexidine. Perawatan haruslah mempertahankan agar seminimal mungkin terjadinya pendarahan dan untuk mempertahankan temperatur selama prosedur ini dilakukan. Klien yang tidak dianjurkan untuk dilakukan hidroterapi umumnya adalah mereka yang secara hemodinamik tidak stabil dan yang baru dilakukan skin graft. Jika hidroterapi tidak dilakukan, maka luka dapat dibersihkan dan dibilas di atas tempat tidur klien dan ditambahkan dengan penggunaan zat antimikroba.
2) Debridemen
Debridemen luka meliputi pengangkatan eschar. Tindakan ini dilakukan untuk meningkatkan penyembuhan luka melalui pencegahan proliferasi bakteri di bagian bawah eschar. Debridemen luka pada LB meliputi debridemen secara mekanik, debridemen enzymatic, dan dengan tindakan pembedahan.
a) Debridemen mekanik
Debridemen mekanik yaitu dilakukan secara hati-hati dengan menggunakan gunting dan forcep untuk memotong dan mengangkat eschar. Penggantian balutan merupakan cara lain yang juga efektif dari tindakan debridemen mekanik. Tindakan ini dapat dilakukan dengan cara menggunakan balutan basah ke kering (wet-to-dry) dan pembalutan kering kepada balutan kering (wet-to-wet). Debridemen mekanik pada LB dapat menimbulkan rasa nyeri yang hebat, oleh karena itu perlu terlebih dahulu dilakukan tindakan untuk mengatasi nyeri yang lebih efektif.
b) Debridemen enzymatic
Debridemen enzymatik merupakan debridemen dengan menggunakan preparat enzym topical proteolitik dan fibrinolitik. Produk-produk ini secara selektif mencerna jaringan yang necrotik, dan mempermudah pengangkatan eschar. Produk-prduk ini memerlukan lingkungan yang basah agar menjadi lebih efektif dan digunakan secara langsung terhadap luka. Nyeri dan perdarahan merupakan masalah utama dengan penanganan ini dan harus dikaji secara terus-menerus selama treatment dilakukan.
c) Debridemen pembedahan
Debridemen pembedahan luka meliputi eksisi jaringan devitalis (mati). Terdapat 2 tehnik yang dapat digunakan : Tangential Excision dan Fascial Excision. Pada tangential exccision adalah dengan mencukur atau menyayat lapisan eschar yang sangat tipis sampai terlihat jaringan yang masih hidup. sedangkan fascial excision adlaah mengangkat jaringan luka dan lemak sampai fascia. Tehnik ini seringkali digunakan untuk LB yang sangat dalam.
3) Balutan
a) Penggunaan penutup luka khusus
Luka bakar yang dalam atau full thickness pada awalnya dilakukan dengan menggunakan zat/obat antimikroba topikal. Obat ini digunakan 1 – 2 kali setelah pembersihan, debridemen dan inspeksi luka. Perawat perlu melakukan kajian terhadap adanya eschar, granulasi jaringan atau adanya reepitelisasi dan adanya tanda-tanda infeksi. Umumnya obat-obat antimikroba yang sering digunakan tampak pada tabel dibawah. Tidak ada satu obat yang digunakan secara umum, oleh karena itu dibeberapa pusat pelayanan luka bakar ada yang memilih krim silfer sulfadiazine sebagai pengobatan topikal awal untuk luka bakar.
Tabel Obat-Obatan Antimokroba Topical Yang Digunakan Pada Luka Bakar (Luckmann, Sorensen, 1993:2004)
Obat
Spektrum Antimikroba
Penggunaan
Efek Samping
Perawatan
Krim Silver Sulfadia-zine 1% Mafenide acetate
Larutan Mafenide acetate 5%
Silver nitrate 5%
Spektrum luas, termasuk jamur Spektrum luas, Mempunyai aktivitas terhadap jamur meskipun sedikit.
Spektrum luas
Spektrum luas
2x/hari,tebal 1/16 inci. Tak usah dibalut.
2x/hari,1/16 inci.
Tdk usah dibalut.
Balutan tipis diperlukan dan dibasahi dengan- larutan untuk luka
Balutan yang tebal diperlukan dan dibasahi dg larutan untuk luka
Leukopenia setelah 2-3 hari pamakaian. Ruam pada otot
Hyperchloremic metabolisme acidosis dari diuresis bicarbonat karena hambatan anhydrase carbonic.
Menimbulkan rasa nyeri.
Pruritus.
Ruam pada kulit
Kolonisasi jamur.
Hyponatremia
Hypochloremia
Hypokalemia
Hypocalcemia
Kaji efek samping. Kaji keadekuatan managemen nyeri. Jika nyeri dan rasa tak nyaman berlanjut, maka perlu dipertimbangkan penggunaan topikal lainnya.
Gunakan secara hati-hati pada klien dengan gagal ginjal.
Kaji efek samping
Kaji keadekuatan managemen nyeri.
Cek serum elektrolit setiap hari.
Penetrasi terhadap eschar buruk.
b) Metode terbuka dan tertutup
Luka pada LB dapat ditreatmen dengan menggunakan metode/tehnik belutan baik terbuka maupun tertutup. Untuk metode terbuka digunakan/dioleskan cream antimikroba secara merata dan dibiarkan terbuka terhadap udara tanpa dibalut. Cream tersebut dapat diulang penggunaannya sesuai kebutuhan, yaitu setiap 12 jam sesuai dengan aktivitas obat tersebut. kelebihan dari metode ini adalah bahwa luka dapat lebih mudah diobservasi, memudahkan mobilitas dan ROM sendi, dan perawatan luka menjadi lebih sederhana/mudah. Sedangkan kelemahan dari metode ini adalah meningkatnya kemungkinan terjadinya hipotermia, dan efeknya psikologis pada klien karena seringnya dilihat.
Pada perawatan luka dengan metode tertutup, memerlukan bermacam-macam tipe balutan yang digunakan. Balutan disiapkan untuk digunakan sebagai penutup pada cream yang digunakan. Dalam menggunakan balutan hendaknya hati-hati dimulai dari bagian distal kearah proximal untuk menjamin agar sirkulasi tidak terganggu. Keuntungan dari metode ini adalah mengurangi evavorasi cairan dan kehilangan panas dari permukaan luka , balutan juga membantu dalam debridemen. Sedangkan kerugiannya adalah membatasi mobilitas menurunkan kemungkinan efektifitas exercise ROM. Pemeriksaan luka juga menjadi terbatas, karena hanya dapat dilakukan jika sedang mengganti balutan saja.
c. Penutupan luka
1) Penutupan Luka Sementara
Penutupan luka sementara sering digunakan sebagai pembalut luka. Pada tabel dibawah diperlihatkan berbagai macam penutup luka baik yang biologis, biosintetis, dan sintetis yang telah tersedia. Setiap produk penutup luka tersebut mempunyai indikasi khusus. Karakteristik luka (kedalamannya, banyaknya eksudat, lokasi luka pada tubuh dan fase penyembuhan/pemulihan) serta tujuan tindakan/pengobatan perlu dipertimbangkan bila akan memilih penutup luka yang lebih tepat.
Tabel : Penutup Luka Sementara yang digunakan pada Luka Bakar
Categori/Contoh
Penjelasan
Indikasi
Perhatian Perawatan
Biologic Amnion
Allograft
homograft
Xenograft
heterograft
Membran amnion yang dibuat dari placenta manusia Diambil dari kulit manusia yang telah meninggal dunia dalam 24 jam setelah kematiannya. Untuk melindungi luka bakar partial thickness Untuk melindungi granulasi jaringan.
Untuk membersihkan exudat luka
Untuk menutupi eksisi luka dan untuk menguji daya penerimaan terhadap penggunaan aoutograft
Untuk meningkatkan penyembuhan luka bersih dan luka superficial-partial thickness
Penutup luka diganti setiap 48 jam dengan amnion. Observasi eksudat luka dan tanda-tanda infeksi yang mungkin menunjukan adanya infeksi pada allograft/xenograft
Xenograft diatas jaringan granulasi diganti setiap 2-5 hari.
Untuk luka superficial, pastikan luka selalu bersih.
Lanjutan
Categori/Contoh
Penjelasan
Indikasi
Perhatian Perawatan
Biosintetis Biobrane (Winthrop Pharmaceutical , New York City)
Integra (Marion-Merrel Dow, Inc., Kansas City)
Benang nylon samapai membran karet silikon yang mengandung colagen Balutan tempat donor Meningkatkan penyembuhan luka superficial-partial thiskness bersih.
Untuk digunakan terhadap eksisi luka.
Keamanan sekitar kulit yang menggunakan sutura, staples, dan sutura dan kemudian dibungkus dengan pembalut. Pembalut bagia luar ini dapat diangkat/diganti dalam 48 jam untuk mengecek/ mengetahui menempelnya Biobrane. Bila telah menempel/menyambung maka sutura, staples dapat diangkat. Dan biarkan biobrane terekpose dengan udara Tempat donor baru dan penyembuhan tempat donor pada kaki memerlukan penyokong selama ambulasi
Kaji tanda-tanda infeksi dan bagian perifer luka.
i
2) Pencangkokan kulit
Pencangkokan kulit yang berasal dari bagian kulit yang utuh dari penderita itu sendiri (autografting) adalah pembedahan dengan mengangkat lapisan kulit tipis yang masih utuh dan kemudian digunakan pada luka bakar yang telah dieksisi. Prosedur ini dilakukan di ruang operasi dengan pemberian anaetesi.
Perawatan post operasi autograft meliputi: mengkaji perdarahan dari tempat donor; memperbaiki posisi dan immobilisasi tempat donor; perawatan tempat donor; perawatan khusus autograft (seperti : cultur epitel autograft)
a) Menkaji Perdarahan
Perdarahan pada autograft dapat menghalangi / mencegah / mengganggu keberhasilan menempelnya kulit yang dicangkok (graft) pada eksisi luka dan dapat mengakibatkan lepasnya graft. Bila terdapat sedikit darah atau serum dapat dibersihkan dengan cara memutar ( dg menggunakan cotton swab steril) dari arah tengah graft menuju keperifer. Jika jumlahnya cukup banyak , maka dapat dilakukan aspirasi darah/serum dengan menggunakan spuit dan jarum yang kecil.
b) Pengaturan Posisi dan Immobilisasi
Autograft harus immobilisasi setelah pembedahan, umumnya selama 3-7 hari. Periode waktu immobilisasi tersebut memungkinakan waktu autogratt menempel dan tertanam pada dasar luka. Immobilisasi dapat dilakukan dengan berbagai cama. Mengatur posisi yang tepat, traksi, splint, dapat digunakan untuk mencegah pergerakan yang tidak diinginkan dan lepasnya graft. Perawat juga harus melakukan berbagai macam tindakan untuk mengurangi bahaya immobilisasi.
c) Perawatan Tempat Donor
Berbagai macam tipe balutan dapat diguakan untuk menutup tempat donor, dan ini tergantung pada ukuran , lokasi dan kondisi batas kulit atau jaringan. Tindakan perawatan juga tergantung pada tipe balutan yang digunakan. Jika balutan dilakukan dengan menggunakan sutura dan staples maka dapat diangkat pada 3-4 hari setelah pembedahan.
Meskipun terdapat perbedaan dalam tindakan perawatan , namun luka pada tempat donor memerlukan tindakannya memerlukan ketelitian yang sama untuk penyembuhan dan mencegah infeksi. Jika tempat donor mengalami infeksi, maka balutan harus diangkat secara hati-hati dan dibersihkan. Kemudian luka harus selalu dibersihkan dan digunakan obat antibakteri. Bila tempat donor membai/sembuh maka losion lubrikasi dapat digunakan untuk melunakan dan menghilangkan rasa gatal. Tempat donor tersebut dapat digunakan kembali bila telah terjadi penyembuhan secara lengkap.
d. Nutrisi
Mempertahankan intake nutrisi yang adekuat selama fase akut sangatlah penting untuk meningkatkan penyembuhan luka dan pencegahan infeksi. BMR (basal metabolik rate) mungkin 40-100% lebih tinggi dari keadaan normal, tergantung pada luasnya luka bakar. Respon ini diperkirakan berakibat pada hypotatamus dan adrenal yang menyebebkan peningkatan produksi panas. Metabolik rate menurun bila luka telah ditutup. Selain itu metabolisme glukosa berubah setelah mengalami luka bakar, mengakibatkan hiperglikemia . Rendahnya kadar insulin selama fase emergent menghambat aktifitas insulin dengan meningkatkan sirkuasi catecholamine, dan meningkatkan glukoneogenesis selama fase akut yang semuanya mempunyai implikasi terhadap terjadinya hiperglikemia pada klien luka bakar.
Dukungan nutrisi yang agresif diperlukan untuk memenuhi kebutuhan energi yang meningkat guna meningkatkan penyembuhan dan mencegah efek katabolisme yang tidak diharapkan.
Formula yang digunakan untuk menghitung kebutuhan energi, dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu berat badan, jenis kelamin, usia, luasnya luka bakar dan aktifitas atau injuri. Formulasinya adalah sebagai berikut:
(25 kcal x berat badan (kg) + (40 kcal x % luka bakar) = kcal/hari.
Dukungan nutrisi yang agresif umumnya diindikasikan untuk klien luka bakar dengan 30 % atau lebih, secara klinis memerlukan tindakan operasi multiple, perlunya penggunaan ventilator mekanik, status mental dan status nutrisi yang buruk pada saat belum mengalami luka bakar.
Adapun metode pemberian nutrisi dapat meliputi diet melalui oral, enteral tube feeding, periperal parenteral nutrition, total parenteral nutrisi, atau kombinasi.
e. Managemen nyeri
Faktor fisiologis yang yang dapat mempengaruhi nyeri meliputi kedalaman injuri, luasnya dan tahapan penyembuhan luka. Untuk tipe luka bakar partial thickness dan pada tempat donor akan terasa sangat nyeri akibat stimulasi pada ujung-ujung saraf. Berlawanan halnya dengan luka bakar full thickness yang tidak mengalami rasa nyeri karena ujung-ujung superficial telah rusak. namun demikian ujung-ujung saraf pada yang terletak pada bagian tepi dari luka akan sangat sensitif. Faktor-faktor psikologis yang dapat mempengaruhi persepsi seseorang terhadap nyeri adalah kecemasan, ketakutan dan kemampuan klien untuk menggunakan kopingnya. Sedangkan faktor-faktor sosial meliputi pengalaman masa lalu tentang nyeri, kepribadian, latar belakang keluarga, dan perpisahan dengan keluarga dan rumah. Dan perlu diingat bahwa persepsi nyeri dan respon terhadap stimuli nyeri bersifat individual oleh karena itu maka rencana penanganan perawatan dilakukan secara individual juga.
Pendekatan yang lebih sering digunakan untuk mengatasi rasa nyeri adalah dengan menggunakan zat-zat farmakologik. Morphine, codein, meperidine adalah nanalgetik narkotik yang sering digunakan untuk mengatasi nyeri yang berkaitan dengan LB dan treatmennya. Obat-obat farmakologik lainnya yang dapat digunakan meliputi analgesik inhalasi seperti nitrous oxide, dll. Obat antiinflamasi nonsteroid juga dianjurkan untuk mengatasi nyeri ringan sampai sedang.
Sedangkan tindakan Nonfarmakologik yang digunakan untuk mengatasi rasa nyeri yang berkaitan dengan luka bakar meliputi hipnotis, guided imagery, terapi bermain, tehnik relaksasi, distraksi, dan terapi musik. Tindakan ini efektif untuk menurunkan kecemasan dan menurunkan persepsi terhadap rasa nyeri dan seringali digunakan bersamaan dengan penggunaan obat-obat farmakologik.
f. Terapi fisik
Mempertahankan fungsi fisik yang optimal pada klien dengan injuri LB merupakan tantangan bagi team yang melakukan perawatan LB. Perawat harus bekerja secara teliti dengan fisioterapist dan occupational terapist untuk mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan rehabilitasi klien LB. Program-program exercise, ambulasi, aktifitas sehari-hari harus diimplementasikan secara dini pada pemulihan fase acutsampai perbaikan fungsi secara maksimal dan perbaikan kosmetik.
Kontraktur luka dan pembentukan scar (parut) merupakan dua masalah utama pada klien LB. Kontraktur akibat luka dapat terjadi pada luka yang luas. Lokasi yang lebih mudah terjadinya kontraktur adalah tangan, kepala, leher, dan axila.
Tindakan-tindakan yang digunakan untuk mencegah dan menangani kontraktur meliputi terapi posisi, ROM exercise, dan pendidikan pada klien dan keluarga.
1) Posisi Terapeutik
Tabael dibawah ini merupakan daftar tehnik-tehnik posisi koreksi dan terapeutik untuk klien dengan LB yang mengenai bagian tubuh tertentu selama periode tidak ada aktifitas (inactivity periode) atau immobilisasi. Tehnik-tehnik posisi tersebut mempengaruhi bagian tubuh tertentu dengan tepat untuk mengantisipasi terjadinya kontraktur atau deformitas.
Tabel : Posisi terapeutik Pada Klien Luka Bakar
Lokasi LB Posisi Terapeutik Tehnik Posisi
Leher Anterior
Keliling
Posterior/tdk simetris
Bahu/axila
Siku
Lengan
pergelangan tangan
metacrpal
sendi interpalangeal (MCP)
Sendi proximal dan distal interpalangeal (PIP/DIP)
Ibu jari
ruang antar jari-jari
Paha
Lutut
Pergelangan kaki
Ekstensi Netral ke ekstensi
Netral
Abduksi lengan 90-110 derajat
Ekstensi lengan
Ekstensi pergelangan tangan
MCP pleksi 90 derajat
Ekstensi PIP/DIP
Abduksi ibu jari
Abduksi jari-jari
Ekstensi paha
Ekstensi lutu
Netral
Tanpa bantal Bantal kecil/gulungan sprei kecil dibawah cervical untuk meningkatkan ekstensi leher.
Lakukan splinting (dibelat/dibidai)
Hand splint
Hand splint
Hand splint
hand splint dengan abduksi ibu jari
Supine dengan kepala datar dengan tempat tidur dan kaki ekstensi
Posisi prone
Supine dengan lutut ekstensi
2) Exercise
Latihan ROM aktif dianjurkan segera dalam pemulihan pada fase akut untuk mengurangi edema dan mempertahankan kekuatan dan fungsi sendi. Disamping itu melakukan kegiatan/aktivitas sehari-hari (ADL) sangat efektif dalam mempertahankan fungsi dan ROM. Ambulasi dapat juga mempertahankan kekuatan dan ROM pada ekstremitas bawah dan harus dimulai bila secara fisiologis klien telah stabil. ROM pasif termasuk bagian dari rencana tindakan pada klien yang tidak mampu melakukan latihan ROM aktif.
3) Pembidaian (Splinting)
Splint digunakan untuk mempertahankan posisi sendi dan mencegah atau memperbaiki kontraktur. Terdapat dua tipe splint yang seringkali digunakan, yaitu statis dan dinamis. Statis splint merupakan immobilisasi sendi. Dilakukan pada saat immobilisasi, selama tidur, dan pada klien yang tidak kooperatif yang tidak dapat mempertahankan posisi dengan baik. Berlainan halnya dengan dinamic splint. Dinamic splint dapat melatih persendian yang terkena.
4) Pendidikan
Pendidikan pada klien dan keluarga tentang posisi yang benar dan perlunya melakukan latihan secara kontinue. Petunjuk tertulis tentang berbagai posisi yang benar, tentang splinting/pembidaian dan latihan rutin dapat mempermudah proses belajar klien dan dapat menjadi lebih kooperatif.
g. Mengatasi Scar
Hipertropi scar sebagai akibat dari deposit kolagen pada luka bakar yang menyembuh. Beratnya hipertropi scar tergantung pada beberapa faktor antara lain kedalaman LB, ras, usia, dan tipe autograft. Metode nonoperasi untuk meminimalkan hipertropi scar adalah dengan terapi tekanan (pressure therapy). Yaitu dengan menggunakan pembungkus dan perban/pembalut elastik (elastic wraps and bandages).
Sedangkan tindakan pembedahan untuk mengatasi kontraktur dan hipertropi scar meliputi :
1) Split-thickness dan full-thickness skin graft
2) Skin flaps
3) Z-plasties
4) Tissue expansion.

3. Fase Rehabilitasi
Fase rehabilitasi adalah fase pemulihan dan merupakan fase terakhir dari perawatan luka bakar. Penekanan dari program rehabilitasi penderita luka bakar adalah untuk peningkatan kemandirian melalui pencapaian perbaikan fungsi yang maksimal. Tindakan-tindakan untuk meningkatkan penyembuhan luka, pencegahan atau meminimalkan deformitas dan hipertropi scar, meningkatkan kekuatan dan fungsi dan memberikan support emosional serta pendidikan merupakan bagian dari proses rehabilitasi.
Perhatian khusus aspek psikososial
Rehabilitasi psikologis adalah sama pentingnya dengan rehabilitasi fisik dalam keseluruhan proses pemulihan. Banyak sekali respon psikologis dan emosional terhadap injuri luka bakar yang dapat diidentifikasi, mulai dari “ketakutan sampai dengan psikosis” . Respon penderita dipengaruhi oleh usia, kepribadian (personality), latar belakang budaya dan etnic, luas dan lokasi injuri, dan akibatnya pada body image. Disamping itu, berpisah dari keluarga dan teman-teman, perubahan pada peran normal klien dan tanggungjawabnya mempengaruhi reaksi terhadap trauma LB.
Fokus perawatan adalah pada upaya memaksimalkan pemulihan psikososial klien melalui intervensi yang tepat. (lihat Rencana Perawatan).
Terdapat 4 tahap respon psikososial akibat trauma LB yang ditandai oleh Lee sebagai berikut: impact; retreat or withdrawal (kemunduran atau menarik diri); acknowledgement (menerima) dan reconstructive (membangun kembali).
a. Impact.
Periode impact terjadi segera setelah injuri yang ditandai oleh shock, tidak percaya (disbelieve), perasaan overwhelmed. Klien dan keluarga mungkin menyadari apa yang terjadi tetapi kopingnya pada waktu itu buruk. Pada penelitian yang telah dilakukan mengindikasikan bahwa keluarga dengan klien yang sakit kritis mempunyai kebutuhan untuk kepastian (assurance), kebutuhan untuk dekat dengan anggota keluarga yang lain dan kebutuhan akan informasi. Lebih spesifik lagi keluarga ingin mengetahui kapan anggota keluarganya dapat ditangani, apa yang akan dilakukan terhadap klien/anggota keluarganya, fakta-fakta tentang perkembangan/kemajuan klien, dan mengapa tindakan/prosedur dilakukan terhadap klien.
b. Retreat or withdrawal (kemunduran atau menarik diri)
Kemunduran (retreat) ditandai oleh represi, menarik diri (withdrawal), pengingkaran/penolakan (denial) dan supresi.
c. Acknowledgement (menerima)
Fase ketiga adalah menerima, dimulai bila klien menerima injuri dan perubahan gambaran tubuh (body image). Selama fase ini klien dapat mengambil manfaat dari pertemuanya dengan klien luka bakar lainnya, baik dalam kontak perorangan maupun dengan kelompok.
d. Reconstructive (membangun kembali)
Fase terakhir adalah fase rekonstruksi, dimulai bila klien dan keluarga menerima keterbatasan yang ada akibat injuri dan mulai membuat perencanaan masa datang.

Proses Keperawatan Luka Bakar
A. Pengkajian
Pengkajian merupakan langkah awal dari proses keperawatan yang bertujuan untuk mengumpulkan data baik data subyektif maupun data obyektif. Data subyektif diperoleh berdasarkan hasil wawancara baik dengan klien ataupun orang lain, sedangkan data obyektif diperoleh berdasarkan hasil observasi dan pemeriksaan fisik.
1. Data biografi
Langkah awal adalah melakukan pengkajian terhadap data biografi klien yang meliputi nama, usia, jenis kelamin, pekerjaan, ras, dan lain-lain. Setelah pengkajian data biografi selanjutnya dilakukan pengkajian antara lain pada :
2. Luas luka bakar
Untuk menentukan luas luka bakar dapat digunakan salah satu metode yang ada, yaitu metode “rule of nine” atau metode “Lund dan Browder”, seperti telah diuraikan dimuka.
3. Kedalaman luka bakar
Kedalaman luka bakar dapat dikelompokan menjadi 4 macam, yaitu luka bakar derajat I, derajat II, derajat III dan IV, dengan ciri-ciri seperti telah diuraikan dimuka.
4. Lokasi/area luka
Luka bakar yang mengenai tempat-tempat tertentu memerlukan perhatian khusus, oleh karena akibatnya yang dapat menimbulkan berbagai masalah. Seperti, jika luka bakar mengenai derah wajah, leher dan dada dapat mengganggu jalan nafas dan ekspansi dada yang diantaranya disebabkan karena edema pada laring . Sedangkan jika mengenai ekstremitas maka dapat menyebabkan penurunan sirkulasi ke daerah ekstremitas karena terbentuknya edema dan jaringan scar. Oleh karena itu pengkajian terhadap jalan nafas (airway) dan pernafasan (breathing) serta sirkulasi (circulation) sangat diperlukan. Luka bakar yang mengenai mata dapat menyebabkan terjadinya laserasi kornea, kerusakan retina dan menurunnya tajam penglihatan.
Lebih lanjut data yang akan diperoleh akan sangat tergantung pada tipe luka bakar, beratnya luka dan permukaan atau bagian tubuh yang terkena luka bakar. Data tersebut melipuri antara lain pada aktivitas dan istirahat mungkin terjadi penurunan kekuatan otot, kekakuan, keterbatasan rentang gerak sendi (range of motion / ROM) yang terkena luka bakar, kerusakan massa otot. Sedangkan pada sirkulasi kemungkinan akan terjadi shok karena hipotensi (shok hipovolemia) atau shock neurogenik, denyut nadai perifer pada bagian distal dari ekstremitas yang terkena luka akan menurun dan kulit disekitarnya akan terasa dingin. Dapat pula ditemukan tachikardia bila klien mengalami kecemasan atau nyeri yang hebat. Gangguan irama jantung dapat terjadi pada luka bakar akibat arus listrik. Selain itu terbentuk edema hampir pada semua luka bakar. Oleh karena itu pemantauan terhadap tanda-tanda vital (suhu, denyut nadi, pernafasan dan tekanan darah) penting dilakukan.
Data yang berkaitan dengan respirasi kemungkinan akan ditemukan tanda dan gejala yang menunjukan adanya cidera inhalasi, seperti suara serak, batuk, terdapat partikel karbon dalam sputum, dan kemerahan serta edema pada oropharing, lring dan dapat terjadi sianosis. Jika luka mengenai daerah dada maka pengembangan torak akan terganggu. Bunyi nafas tambahan lainnya yang dapat didengar melalui auskultasi adalah cracles (pada edema pulmoner), stridor (pada edema laring) dan ronhi karena akumulasi sekret di jalan nafas.
Data lain yang perlu dikaji adalah output urin. Output urin dapat menurun atau bahkan tidak ada urin selama fase emergen. Warna urine mungkin tampak merah kehitaman jika terdapat mioglobin yang menandakan adanya kerusakan otot yang lebih dalam. sedangkan pada usus akan ditemukan bunyi usus yang menurun atau bahkan tidak ada bunyi usus, terutama jika luka lebih dari 20 %. Oleh karena itu maka dapat pula ditemukan keluhan tidak selera makan (anoreksia), mual dan muntah.
5. Masalah kesehatan lain
Adanya masalah kesehatan yang lain yang dialami oleh klien perlu dikaji. Masalah kesehatan tersebut mungkin masalah yang dialami oleh klien sebelum terjadi luka bakar seperti diabetes melitus, atau penyakit pembuluh perifer dan lainnya yang akan memperlambat penyembuhan luka. Disamping itu perlu pula diwaspadai adanya injuri lain yang terjadi pada saat peristiwa luka bakar terjadi seperti fraktur atau trauma lainnya. Riwayat alergi perlu diketahui baik alergi terhadap makanan, obat-obatan ataupun yang lainnya, serta riwayat pemberian imunisasi tetanus yang lalu.
6. Data Penunjang
  1. Sel darah merah (RBC): dapat terjadi penurunan sel darah merah (Red Blood Cell) karena kerusakan sel darah merah pada saat injuri dan juga disebabkan oleh menurunnya produksi sel darah merah karena depresi sumsum tulang.
  2. Sel darah putih (WBC): dapat terjadi leukositosis (peningkatan sel darah putih/White Blood Cell) sebagai respon inflamasi terhadap injuri.
  3. Gas darah arteri (ABG): hal yang penting pula diketahui adalah nilai gas darah arteri terutama jika terjadi injuri inhalasi. Penurunan PaO2 atau peningkatan PaCO2.
  4. Karboksihemoglobin (COHbg) :kadar COHbg (karboksihemoglobin) dapat meningkat lebih dari 15 % yang mengindikasikan keracunan karbon monoksida.
  5. Serum elektrolit :
1) Potasium pada permulaan akan meningkat karena injuri jaringan atau kerusakan sel darah merah dan menurunnya fungsi renal; hipokalemiadapat terjadi ketika diuresis dimulai; magnesium mungkin mengalami penurunan.
2) Sodium pada tahap permulaan menurun seiring dengan kehilangan air dari tubuh; selanjutnya dapat terjadi hipernatremia.
  1. Sodium urine :jika lebih besar dari 20 mEq/L mengindikasikan kelebihan resusitasi cairan, sedangkan jika kurang dari 10 mEq/L menunjukan tidak adekuatnya resusitasi cairan.
  2. Alkaline pospatase : meningkat akibat berpindahnya cairan interstitial/kerusakan pompa sodium.
  3. Glukosa serum : meningkat sebagai refleksi respon terhadap stres.
  4. BUN/Creatinin : meningkat yang merefleksikan menurunnya perfusi/fungsi renal, namun demikian creatinin mungkin meningkat karena injuri jaringan.
  5. Urin : adanya albumin, Hb, dan mioglobin dalam urin mengindikasikan kerusakan jaringan yang dalam dan kehilangan/pengeluaran protein. Warna urine merah kehitaman menunjukan adanya mioglobin
  6. Rontgen dada: Untuk mengetahui gambaran paru terutama pada injuri inhalasi.
  7. Bronhoskopi: untuk mendiagnosa luasnya injuri inhalasi. Mungkin dapat ditemukan adanya edema, perdarahan dan atau ulserasi pada saluran nafas bagian atas
  8. ECG: untuk mengetahui adanya gangguan irama jantung pada luka bakar karena elektrik.
  9. Foto Luka: sebagai dokumentasi untuk membandingkan perkembangan penyembuhan luka bakar.
Diagnosa dan Intervensi Keperawatan:
Diagnosa/masalah kolaborasi
Tujuan & criteria hasil
Intervensi
Rasionalisasi
Fase Eemergensi (E) 1. Defisit volume cairan b.d. pe- ningkatan permeabi-litas kapiler dan perpin-dahan cairan dari ruang intravaskuler ke ruang interstitial Klien akan memperli-hatkan perbaikan keseimbangan cairan, yang ditandai oleh :
  • · Tidak kehausan
  • · Mukosa mulut/bibir lembab
  • · Output urine : 30-50 cc/jam
  • · Sensori baik
  • · Denyut nadi : <>
  • · Kaji terjadinya hi-povolemia tiap 1 jam selama 36 jam
  • · Ukur/timbang berat badan setiap hari.
  • · Monitor dan doku-mentasikan intake dan output setiap jam
  • · Berikan replace-ment cairan dan elektrolit melalui intra vena sesuai program.
  • · Monitor serum elektrolit dan hematokrit.
    • · Perpindahan cair- an dapat menye-babkan hipovo-lemia
    • · Berat badan me-rupakan indek yg akurat keseim-bangan cairan.
    • · Output urine me-rupakan pengu-kuran yg efektif terhadap keber-hasilan resusitasi cairan.
    • · Cairan intravena dipergunakan un tuk memperbaiki volume cairan.
    • · Hiperkalemia dan peningkatan hematokrit merupakan hal yang sering terjadi.


Lanjutan
Diagnosa/masalah kolaborasi
Tujuan & criteria hasil
Intervensi
Rasionalisasi
Masalah Kolaborasi (Fase Emergensi)
2. Potensial illeus paralitik b.d. stress akibat injury.
Masalah Kolaborasi
(Fase Emergensi)
3. Potensial gagal ginjal b.d. adanya hemachromagen dalam urine karena luka bakar yang dalam
Perawat akan memoni-tor bunyi usus normal aktif, adanya distensi abdomen, produksi flatus dan gerakan usus normal.
Perawat akan memoni-tor adanya hemachro-magen dalam urine & output urine adekuat : 75-100 cc/hari
  • · Kaji kebutuhan untuk pemasangan NGT.
  • · Kaji fungsi usus :
Ø Auskultasi bu-nyi usus tiap 4 jam
Ø Observasi dis-tensi abdomen
  • · Monitor output gaster, jumlah, warna dan ada-nya darah serta pH.
  • · Monitor dan doku-mentasikan output urine setiap jam & warna urine.
  • · Pastikan aliran ka-teter urine dalam keadaan baik.
  • · Berikan cairan intravena sesuai program
  • · Siapkan sampel urine untuk peme-riksaan kadar myo-globin/hemoglobin sesuai program
    • · Illeus umumnya terjadi pada luka bakar > 20 – 25%
    • · Bunyi usus mengindikasikan adanya peristal-tik.
    • · Distensi abdomen menunjukan ter-jadinya illeus
    • · Pengeluaran cair-an dari gaster memerlukan re-placement cair-an. Ulkus pada gaster sering ter-jadi pada luka bakar berat.
    • · Urine akan berwarna merah atau coklat gelap jika terdapat hemachromagen
    • · Kateter dapat tersumbat oleh hemachromagen.
    • · Hemachromagen akan terbilas atau keluar dari tubuh.
    • · Memberikan informasi tentang resiko gagal ginjal.

Lanjutan
Diagnosa/masalah kolaborasi
Tujuan & kriteria hasil
Intervensi
Rasionalisasi
(Fase Akut) & (Emergensi) 4. Gangguan pertukaran gas b.d. keracunan carbonmo-noxida, kerusakan paru akibat pabas. Klien akan menunjukan perbaikan pertukaran gas, yang ditandai oleh :
  • · Respirasi 16-24 kali/menit tanpa upaya
  • · PaO2 > 90 mmHg
  • · PaCO2 : 35-45 mm-Hg
  • · SaO2 > 95%
  • · Suara nafas kedua paru bersih.
  • · Kaji tanda-tanda respiratori distres yang ditandai oleh:
Ø Gelisah, bing-ung (confuse) Ø Terdapat upaya nafas,
Ø Tachypnea,
Ø Dyspnea,
Ø Tachicardia,
Ø Kadar PaO2 dan SaO2 menurun
Ø Cyanosis
  • · Monitor kadar gas darah arteri dan COHb sesuai permintaan dokter
  • · Monitor kadar SaO2 secara kontinu
  • · Berikan oksigen seuai program
  • · Ajarkan pasien penggunaan spirometri.
  • · Tinggikan tempat tidur bagian kepala.
  • · Monitor kebutuhan untuk pema-sangan intubasi endotraheal.
    • · Gangguan pertu-karan gas dapat megakibatkan respiratori distres karena hypokse-mia.
    • · Memberikan data tentang efektifi-tas respirasi/ oksigenasi.
    • · Memberikan data oksigenasi non-invasif.
    • · Menurunkan hi-poksemia
    • · Mendorong untuk bernafas dalam.
    • · Mempermudah ekspansi paru
    • · Intubasi mungkin diperlukan untuk memelihara oksi-genasi

Lanjutan
Diagnosa/masalah kolaborasi
Tujuan & kriteria hasil
Intervensi
Rasionalisasi
(E, A) 5. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d. edema trahea, menurunnya fungsi ciliar paru akibat injuri inhalasi
(E, A)
6. Perubahan perfusi jaringan perifer b.d. konstriksi akibat luka bakar.
Bersihan jalan nafas klien akan efektif, yang ditandai oleh:
  • · Suara nafas bersih
  • · Sekresi pulmoner bersih sampai putih
  • · Monbilisasi sekreai pulmoner efektif
  • · Respirasi tanpa upa-ya
  • · Respirasi rate:16-24 kali/mnt
  • · Tidak ada ronchi, whezing, stridor
  • · Tidak ada dispnea
  • · Tidak ada sianosis.
Perfusi perifer klien akan menjadi adekuat, yang ditandai oleh:
  • · Denyut nadai dapat diraba melalui palpa-si/Dopler
  • · Capilari refill pada kulit yang tidak ter-bakar <>
  • · Tidak ada kebal
  • · Tidak terjadi pening-katan rasa nyeri pada waktu melakukan latihan ROM
  • · Ajarkan klien un-tuk batuk dan ber-nafas dalam setiap 1-2 jam selama 24 jam, kemudian se-tiap 2-4 jam, saat terjaga.
  • · Letakan peralatan suction oral dalam jangkaun klien un-tuk digunakan sen-diri oleh klien.
  • · Lakukan endotra-cheal suction jika diperlukan, dan monitor serta doku-mentasikan karak-teristik sputumnya.
  • · Lepaskan semua perhiasan & pakai-an yg kencang/ sempit
  • · Batasi penggunaan cuff tekanan darah yang dapat menye-babkan konstriksi pada ekstremitas.
  • · Monitor denyut arteri melalui pal-pasi atau dengan Dopler setiap jam selama 27 jam.
  • · Kaji Capilary refill pada kulit yang tak terbakar pada bagi-an ekstremitas yg terkena.
    • · Mempermudah dalam member-sihkan saluran nafas bagian atas.
    • · mendorong klien untuk member-sihkan sendiri sekresi oral dan sputum.
    • · Menghilangkan sekresi dari sa-luran nafas bagi-an atas. Warna, konsistensi, bau dan banyaknya dapat mengindi-kasikan adanya infeksi.
    • · Dapat membaha-yakan sirkulasi sebagai akibat terjadinya edema.
    • · Dapat menurun-kan aliran arteri dan venous return.
    • · Menurnkan/menghilangkan hipok-semia
    • · Capilary refil menjadi meman-jang & gangguan sirkulasi.


Lanjutan
Diagnosa/masalah kolaborasi
Tujuan & kriteria hasil
Intervensi
Rasionalisasi
(E, A) 7. Hypotermia b.d. kehi-langan jaringan epitel dan fluktuasi suhu udara. Klien akan memperta-hankan suhu tubuh yang normal, yang ditandai oleh core body temperature antara 99,6 – 101,0 derajat F.
  • · Kaji tingkatan nye-ri dengan latihan ROM aktif
  • · Tinggikan ekstre-mitas yang terkena di atas permukaan jantung.
  • · Dorong klien untuk melakukan latihan ROM aktif
  • · Antisipasi & siap-kan klien untuk escharotomy
  • · Perawatan Post Escharotomy :
Kaji keadekuatan sirkulasi :
Ø Cek nadi
Ø Catat warna, pergerakan & sensasi ekstre-mitas yang terkena.
  • · Atasi perdarahan post operasi escharotomy dgn penekanan, elek-trocautery, menja-hit pembuluh yang mengalami perda-rahan.
  • · Monitor suhu rec-tal sesuai indikasi (setiap jam selama fase emergensi dan setelah dilakukan pembedahan
  • · Iskemia jaringan menyebabkan timbulnya rasa nyeri.
  • · Menurunkan pembentukan edema dependen.
  • · Meningkatkan venous return dan menurunkan atropi otot.
  • · Escharotomi dila-kukan untuk memperbaiki sirkulasi dan jaringan.
  • · Data-data tsb mengindikasikan perfusi yg adek-wat.
  • · Jaringan yang masih hidup di-bawahnya akan berdarah.
    • · Hipotermia dapat terjadi setelah kehilangan kulit karena rusaknya regulator panas.

Lanjutan
Diagnosa/masalah kolaborasi
Tujuan & kriteria hasil
Intervensi
Rasionalisasi
Masalah Kolaborasi (E, A)
8. Resiko tinggi terjadi stres ulcer b.d. respon stres neurohormonal akibat luka bakar
(A)
9. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b.d. meningkatnya kebutuhan metabolik untuk penyembuhan luka.
Perawat akan memo-nitor perdarahan gas-trointestin dan akan mempertahankan pH gaster > 5 Nutrisi klien adekuat, ditandadi oleh dapat mempertahankan pada 85-90% berat badan sebelum luka bakar.
  • · Batasi bagian tu-buh yang terpapar selama melakukan perawatan luka
  • · Batasi lama pengo-batan hidroterapi semapai dengan 30 menit atau kurang dengan suhu air antara 98 – 102,0 derajat F
  • · Gunakan pemanas luar / radiasi lampu pemanas.
  • · Pertahankan/peli-hara ruangan pro-sedur tetap hangat.
  • · Monitor dan doku-mentasikan nilai pH gaster dan ada-nya darah setiap 2 jam pada saat NGT terpasang.
  • · Berikan antacida dan/atau H2 resep-tor antagonis sesu-ai program dokter.
  • · Monitor feses akan adanya darah.
  • · Kaji berat badan sebelum luka bakar
  • · Konsulkan pada ahli diet
    • · Bagian yang ter-buka (terekspos) dapat menyebab-kan hipotermia. Panas keluar dari luka yang terbu-ka dan setelah hidroterapi mela-lui evaporasi.
    • · Sumber panas eksternal
    • · Sekresi asam gaster dapat menyebabkan perdarahan
    • · Menurunkan isi asam lambung
    • · Stres ulcer me-nyebabkan per-darahan, dan mungkin dapat dieksresi keda-lam feses.
    • · Kebutuhan kalori didasarkan pada berat badan pre luka bakar
    • · Untuk melakukan kajian nutrisi.

Lanjutan
Diagnosa/masalah kolaborasi
Tujuan & kriteria hasil
Intervensi
Rasionalisasi


  • · Kaji pola makan, kesukaan, alergi makanan dalam 72 jam setelah makan.
  • · Catat intake kalori (jumlah kalori)
  • · Ukur berat badan setiap hari untuk mengikuti kecende-rungan be at badan (kecuali: jika pro-sedur operasi me-merlukan pemba-tasan pergerakan).
  • · Lakukan oral higi-ene setiap shift/jika dibutuhkan.
  • · Atur jadwal treat-men yang diberi- kan agar tak meng-ganggu jadwal ma-kan.
  • · Sediakan waktu istirahat sebelum jam makan jika klien mengalami nyeri karena prose-dur atau treatmen.
  • · Sediakan alat bantu utk mempermudah makan.
  • · Dorong klien/kelu-arga unttk memba-wa makanan kesu-kaan dari rumah.
  • · Berikan nutrisi suplemen diantara jam makan.
  • · Berikan reinforce-men positif untuk makan.
  • · Sebagai data dasar
  • · Data kuantitatif intake kalori
  • · Berat badan akan stabil jika intake kaloti terpenuhi
  • · Mencegah stoma-titis & meningkat kan selera makan
  • · Jika jadwal ma-kan terganggu dapat menurun-kan intake kalori
  • · Nyeri menurun-kan selera makan
  • · Mempermudah perawatan diri
  • · Klien akan selera dengan makanan yang disukai.
  • · Kebutuhan kalori seringkali perlu ditingkatkan.
  • · Klien anoreksia meyakini bahwa makan tidaklah bermanfaat

Lanjutan
Diagnosa/masalah kolaborasi
Tujuan & kriteria hasil
Intervensi
Rasionalisasi
(E, A) 10. Resiko tinggi terjadinya infeksi b.d. hilangnya pertahanan kulit, ganggu-an respon imune, adanya pemasangan kateter (indweling urinary cateter dan intravenous cateter), dan prosedur invasif (pengambilan sampel darah baik arteri maupun vena dan bronchoscopy) Klien tak akan menga- lami invasi mikroba pada luka, yg ditandai oleh :
  • · Hasil kultur luka <>
  • · Suhu : 36-37°C.
  • · Tidak ada pembeng-kakan, kemerahan, atau sekret purulen pada tempat-tempat penusukan (kateter, vena)
  • · Kultur darah, urine dan sputum negatif.
  • · Berikan propilaksis tetanus jika perlu.
  • · Pertahankan tehnik untuk mengontrol infeksi
  • · Instruksikan kelua-rga atau lainya ten-tang tindakan-tin-dakan mengontrol infeksi.
  • · Lakukan cuci tangan dengan baik
  • · Kaji tanda-tanda klinik infeksi: perubahan warna luka atau drainage, bau, penyembuhan yang lama; nyeri kepala, menggigil, anoreksia, mual; perubahan tanda-tanda vital; hiper-glikemia dan gliko-suria; paralitic ileus, bingung, gelisah, halusinasi.
  • · Sebelum diberikan obat topikal ulang, cuci dan bersihkan luka lebih dahulu.
  • · Buang jaringan yg telah mati.
  • · Potong rambut ba-dan di sekitar tepi-an luka (kecuali bulu dan alis mata)
  • · Lingkungan es-char yang anae-robic memung-kinkan pertum-buhan organisme penyebab tetanus.
  • · Mencegah konta-minasi silang
  • · Meningkatkan kesadaran/kepa-tuhan.
  • · Menurunkan insiden kontami-nasi silang
  • · Luka terbuka dan klien imunokom-promi sehingga infeksi luka baik lokal maupun sis-temik adalah suatu resiko.
  • · Untuk membuang kotoran.
  • · Jaringan tersebut medium yg baik bagi pertumbuh-an bakteri
  • · Rambut dapat terkontaminasi & menganggu me-nempelnya krim


Lanjutan
Diagnosa/masalah kolaborasi
Tujuan & kriteria hasil
Intervensi
Rasionalisasi
(E, Rehabilitasi/R) 11. Nyeri b.d. injury luka bakar, stimulasi ujung-ujung saraf, treatmen dan kecemasan. Klien akan lebih nyaman ditandai oleh:
  • · Menyatakan rasa nyeri/tak nyaman berkurang.
  • · Klien dapat menge-nali faktor-faktor yg mempengaruhi nyeri
  • · Kaji respon klien terhadap nyeri saat perawatan luka dan saat istirahat.
  • · Berikan obat penghilang nyeri:
- 45 menit sebe-lumnya jika me-lalui mulut. - 30 menit sebelumnya jika melalui intra muskular
- 5-10 menit sebelumnya jika melalui intravena
Jangan diberikan melalui intramus-kular pada klien dengan luka bakar berat fase emergent
  • · Ajarkan tehnik re-laksasi , terapi mu-sik, guided image-ry, distraksi dan hypnosis
  • · Jelaskan semua pro sedur pada klien & sediakan waktu utk persiapan.
  • · Bicaralah dengan klien ketika mela-kukan perawatan dan melakukan prosedur.
  • · Kaji kemungkinan kebutuhan untuk pemberian anxioli-tik
  • · Catat respon klien terhadap medikasi dan pengobatan nonfarmakologik
  • · Sebagai data dasar
  • · Waktu yang adekuat bagi onset analgetik.
  • · Injeksi i.m. tidak dianjurkan kare-na keterba-tasan sirkulasi meng-ganggu absorpsi
  • · Merupakan anal-getik nonfarma-kologik
  • · Untuk menurun-kan kecemasan
  • · Meningkatkan rasa percaya klien
  • · Kecemasan menurunkan ambang nyeri.
  • · Menilai efekti-vitas intervensi.

Lanjutan
Diagnosa/masalah kolaborasi
Tujuan & criteria hasil
Intervensi
Rasionalisasi
(A, R) 12. Kurang mampu merawat diri (grooming, bathing, eating, elimination) b.d. deficit fungsional akibat dari injuri luka bakar, nyeri, balutan, dan anjur-an immobilisasi
(E, A, R)
13. Gangguan mobilitas fisik b.d. edema, nyeri, balut-an, prosedur pembedah-an, dan kontraktur luka.
Klien akan mengalami penurunan berkurang-nya kemampuan dalam perawatan diri & akan memperlihatkan pe-ningkatan partisipasi dalam perawatan diri. Klien akan mengalami peningkatan mobilits fisik ditandai dengan kembali secara maksi-mal melakukan aktivi-tas sehari-hari dengan kecacatan dan ganggu-an figur yang minimal.
  • · Kaji kemampuan klien dalam pera-watan diri.
  • · Konsulkan dengan terapi okupasi tentang perlunya penggunaan alat bantu.
  • · Dorong klien untuk berpartisipasi dalam melakukan tugas-tugas perawatan diri.
  • · Yakinkan pada klien bahwa ia memerlukan waktu yang cukup untuk menyelesaikan tugas-tugasnya.
  • · Berikan reinforce-ment positif apabi-la tugas-tugas klien dapat dicapai.
  • · Kaji ROM dan kekuatan otot pada area luka yg mung-kin mengalami kontraktur setiap hari atau jika diperlukan.
  • · Pertahankan area luka dalam posisi fungsi fisiologis.
  • · Jelaskan alasan perlunya aktivitas dan pengaturan po-sisi klien dan kelu-arga.
  • · Sebagai data dasar
  • · Meningkatkan perawatan diri.
  • · Membantu memotivasi klien dan menghilang-kan rasa takut/ khawatir dan ketergantungan
  • · Membantu meng-ontrol dirinya.
  • · Meningkatkan kemandirian dan motivasi.
  • · Sebagai data dasar
  • · Mencegah/menu-runkan terjadinya kontraktur.
  • · Meningkatkan kepatuhan.

Lanjutan
Diagnosa/masalah kolaborasi
Tujuan & criteria hasil
Intervensi
Rasionalisasi
(A, R) 14. Resiko tinggi gangguan harga diri b.d. ancaman perubahan/actual perubah an pada body image, kehilangan fisik dan kehilangan akan peran dan tanggungjawab. Klien akan mengembangkan perbaikan slef esteem ditandai oleh:
  • · Membuat kontak sosial dengan orang lain selain anggota keluarga.
  • · Mengembangkan mekanisme koping yang efektiv selama tahap pemulihan.
  • · Mengemukakan keluhannya tentang konsep diri.
  • · Konsultasi untuk terapi fisik dan okupasi serta atur jadwalnya sesuai kebutuhan.
  • · Dorong melakukan ROM aktif setiap 2-4 jam saat terjaga jika tidak ada kon-traindikasi sebab prosedur graf yang sedang dilakukan.
  • · Ambulasi klien ke kursi atau berjalan (jika tidak ada kon-traindikasi oleh prosedur graf atau injuri lainnya)
  • · Lakukan latihan pasif jika klien tak mampu berparti-sipasi aktif.
  • · Tentukan gaya ko-ping sebelumnya.
  • · Jelaskan proyeksi penampilan luka ba kar & graft selama fase-fase penyem-buhan luka
  • · Pastikan klien melalui perkem-bangan tahapan denial, berduka dan menerima injuri dan recoveri
  • · Untuk diberikan alat yang dibu-tuhan.
  • · Mengontrol ede-ma post-resusitasi dan mencegah atropi otot, per-lengketan tendon, kekakuan sendi dan pemendekan capsular.
  • · Ambulasi meningkatkan kekuatan otot dan fungsi cardiopul-moner.
  • · ROM pasif mempertahankan gerak sendi dan tonus otot.
  • · Sebagai data da-sar tentang ko-ping sebelumnya dan mungkin kli-en akan mencoba lagi gaya koping tersebut.
  • · Memberikan informasi; dapat menurunkan miskonsepsi.
  • · Perkembangan klien bervariasi tergantung pada tingkatan injuri, persepsi terhadap injuri, sistem pe-nyokong & gaya koping sebelum-nya.


Lanjutan
Diagnosa/masalah kolaborasi
Tujuan & criteria hasil
Intervensi
Rasionalisasi
(E, A, R) 15. Resiko tinggi akan tidak efektifnya coping keluar-ga b.d. sifat yang emer-gensi dan kritis dari luka bakar dan perpisahan/ jauh dari rumah dan teman. Keluarga akan menga-lami perbaikan strategi koping ditandai oleh:
  • · Mengungkapkan tujuan pengobatan, mengungkapan stres emosional.
  • · Memahami pelaya-nan pendukung yang tersedia.
  • · Kaji perilaku mal-adaptif
  • · Tingkatkan rasa percaya diri klien:
- Pastikan kontinu-itas pemberian perawatan - Diskusikan se-mua aktivitas dan prosedur sebelum dimulai.
- Dukung peran klien dalam pera-watan dan pengo-batan.
- Sampaikan infor-masi perkem-bangan klien.
- Beri informasi yang jujur, dan reinforcement positif.
- Bantu anggota keluarga/orang lain untuk berin-teraksi dengan klien.
  • · Dorong agar berin-teraksi dengan orang lain diluar rumah.
  • · Bagi informasi pada keluarga atau orang lain yang berkunjung untuk pertama kalinya tentang:
- Luasnya luka dan perubahan penam pilan klien.
- Prosedur dan per-alatan yang digu-nakan.
  • · Perilaku maladap tif adalah berba-haya.
  • · Meningkatkan kepercayaan
  • · Menurnkan kecemasan
  • · Memotivasi klien; menurunkan rasa takut
  • · Jangan membe-rikan harapan palsu tentang per baikan fungsi jika kerusakan irrever sibel.
  • · Keluarga mung-kin takut dan membutuhkan bimbingan.
  • · Memfasilitasi reinteraksi sosial
  • · Persiapan untuk menurunkan rasa takut
Lanjutan
Diagnosa/masalah kolaborasi
Tujuan & kriteria hasil
Intervensi
Rasionalisasi


  • · Tentukan bagaima-na cara klien dan keluarga mengatasi stres dimasa lalu.
  • · Bantu klien meng-atasi stres dengan memberikan stra-tegi koping seperti diversi dan tehnik relaksasi
  • · Informasikan kelu-arga tentang per-kembangan/perubahan klien tiap hari.
  • · Konsulkan pada psikolog, psikiater, pekerja sosial, pe-rawat spesialis psi-kiatri jika diperlu-kan
  • · Sebagai data dasas
  • · Memberikan strategi baru pada klien
  • · Mempertahankan persepsi yang re-alistik tentang perkembangan klien
  • · Para profesional tersebut dapat membantu memperbaiki strategi koping klien

Kesimpulan
Perawatan LB merupakan hal yang komplek dan menantang. Trauma fisik dan psikologis yang dialami setelah injuri dapat menimbulkan penderitaan baik bagi penderita sendiri maupn keluarga dan orang lain yang dianggap penting. Anggota yang menjadi kunci dari tim perawatan luka bakar adalah perawat yang bertanggung jawab untuk membuat perencanaan perawatan yang bersifat individual yang merefleksikan kondisi klien secara keseluruhan.
DAFTAR PUSTAKA
Doenges, M.E., et al. (1995). Nursing care plans guidelines for planning patient care. (2nd ed.). Philadelphia: F.A. Davis Co.
Luckmann & Sorensen. (1993). Medical-surgical nursing a psychophysiologic approach, (4th ed.). Philadelphia: W.B. Saunder Co.
Nettina, S. (1996). The Lippincott manual of nursing practice. (6th ed.). Lippincott: Lippincott-Raven Publisher.
Thompson, J.M. (1987). Clinical nursing. St. Louis: Mosby.